Mohon tunggu...
Ambrosio Flavio
Ambrosio Flavio Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Ambrosio Flavio Wongso 12A6/01

Selanjutnya

Tutup

Diary

Apa Arti Hidup?

23 Februari 2023   21:42 Diperbarui: 10 April 2023   11:30 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Siapa yang tidak ingin bahagia? Kita semua yang sedang membaca artikel ini atau siapapun pasti ingin bahagia. Manusia terus bekerja membanting tulang dengan harapan akan mendapat hasil yang membahagiakan dirinya. Kita membuat pengorbanan-pengorbanan, dengan harapan agar bisa bahagia. Pepatah "bersakit-sakit ke hulu, bersenang senang kemudian" sangat menggambarkan fenomena ini. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu tercapai? Apakah setiap pengorbanan dan rasa sakit itu sepadan dengan kebahagiaan yang didapat? Bagi sebagian orang mungkin tidak, tetapi bagi sebagian lagi bisa saja. Namun, apakah kalian pernah menyadari bahwa kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama?

Hal itu terjadi karena manusia tidak diciptakan untuk bahagia. Tidak ada bagian otak spesifik yang membuat rasa "bahagia" tersebut. Kebahagiaan yang selama ini kita rasakan merupakan reaksi kimia yang terjadi di dalam otak. Reaksi kimia tersebut terjadi karena hormon-hormon seperti endorfin, serotonin, oksitosin, dan dopamin. Namun, tidak ada bagian otak yang membuat rasa bahagia tersebut secara independen. Akan tetapi, depresi mempunyai tempatnya sendiri pada otak yaitu pada amygdala, hippocampus, dan dorsomedial thalamus. Hal inilah yang menyebabkan kita cenderung lebih banyak merasakan depresi/kesedihan dibanding kebahagiaan. 

Mungkin sebagian besar dari kita pernah menangis atau merasakan kesedihan yang begitu dalam saat mengingat pengalaman tertentu. Namun apakah kalian pernah merasakan kebahagiaan saat mengingat pengalaman yang membahagiakan? Jawabannya mungkin tidak. Kita hanya dapat merasakan kebahagiaan dalam waktu yang singkat, tetapi dapat merasakan kesedihan dalam waktu yang panjang. 

Seperti inilah manusia, kita tidak diciptakan untuk bahagia melainkan untuk bertahan hidup. Manusia diciptakan untuk berjuang, mencari keamanan, melawan ancaman, dan menghindari luka. Jika begitu, maka apa alasan untuk kita tetap harus hidup?

Jawaban ini tentu berbeda-beda pada setiap orang. Namun, mengapa kita tidak menikmati hidup selagi kita masih mampu? Jika kita tidak dapat merasakan kebahagiaan dalam waktu yang panjang, mengapa tidak kita buat saja diri kita bahagia dengan frekuensi yang lebih banyak? Hal inilah yang dikenal dengan optimistic nihilism. Optimistic nihilism merupakan suatu cara pandang alternatif mengenai hidup. Berbeda dengan nihilism, optimistic nihilism melihat bahwa hidup yang tidak ada arti dan juga penuh dengan penderitaan, dapat dihidupi dengan sukacita. Jika hidup ini tidak mempunyai makna dan penuh penderitaan, mengapa tidak menciptakan hidup kita sendiri. Hidup yang mempunyai makna dan menjadi hidup yang layak untuk dihidupi. 

Kita hanya punya satu kesempatan pada hidup kita. Maka kita harus menggunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya. Kita merupakan makhluk yang bebas. Maka kita juga bebas untuk menentukan sendiri arah tujuan hidup kita. Segala kesalahan kita pada akhirnya tidak akan berarti banyak. Segala keputusan buruk tidak akan berarti. Segala hal buruk yang kita lakukan juga tidak akan berarti. Toh dunia ini juga akan berakhir pada waktunya. Namun kita juga harus tetap mengutamakan perasaan orang lain. Jangan sampai kita sendiri yang menjadikan hidup orang lain semakin menderita.

Hidup memang berat, tetapi setidaknya kita harus dapat mencari cara agar hidup itu tetap layak dihidupi. Setidaknya kita tahu, bahwa depresi dan kesedihan merupakan hal yang sangat natural pada diri manusia. Semua pasti pernah mengalami masa-masa terendah dalam hidupnya. Sebagian kecil tidak kuat dan memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Namun sebagian besar masih bertahan di dunia yang keji ini.

Jika sebagian besar bertahan, mengapa kita tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun