Mendengar kata petani mengingatkan kita pada sebuah kampung yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan dan jauh dari keramain kota. Sebuah tempat hijau dan luasnya sejauh mata memandang. Seorang petani tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk seperti mimpi seorang politikus untuk menjadi seorang yang terkenal dan penuh dengan kemewahan. Seorang petani hanya berharap bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan mungkin bisa bermimpi untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, syukur-syukur kalau bisa menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Setiap hari bangun pagi-pagi buta ke kebun/sawah dan pulang sore hari dengan pakaian ala petani tidak seperti para Elit politik yang selalu menggunakan pakain rapi.
Miris memang kalau kita bayangkan nasib petani-petani kita yang hanya bisa hidup seadanya. Beberapa jam yang lalu saya melihat diberita (lupa stasiun tivinya), bahwa sekarang sudah masuk cabe import yang harganya setengah lebih murah harganya dari harga cabe lokal. Cabe ini diimport dari china, philipina dan beberapa negara tetangga. Kita bisa bayangkan nasib petani kita bila hal ini terjadi dalam waktu lama, mungkin para petani gulung tikar alias tidak bisa hidup layak. Belum lagi produk yang lain seperti beras yang sudah lama kita import. Meskipun harganya jauh lebih murah tapi apakah pemerintah kita tidak bisa bertindak? Paling tidak mencari akar permasalahannya kenapa harga lokal bisa lebih mahal daripada import?. Hal ini harus di antisipasi pemerintah kita, tidak hanya berpangku tangan melihat para tengkulak bermain mempermainkan harga dipasaran. Harusnya pemerintah dapat mengontrol harga seperti dinegara malaysia. Jika hal ini dibiarkan begitu saja, bukan tidak mungkin bahwa barang dari petani lokal kita tidak laku terjual karena dominasi import yang semakin menguasai pasar.
Melihat barang-barang import yang semakin ramai di negara kita ini, hal ini bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita sudah bangga menggunakan product lokal asli buatan indonesia atau kita masih bangga jika menggunakan product import. Kita berkaca pada negara Jepang, dimana masyarakat Jepang bangga dengan karya putra-putri mereka dan hasilnya kita bisa lihat negara Jepang sangat berkembang pesat. Bayangkan jika masyarakat Indonesia bangga menggunakan product lokal mungkin kita bisa mengalahkan negara Jepang karena jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar.
Jika import tidak tidak dibatasi maka yang memetik keuntungan besar adalah para tengkulak-tengkulak itu. Mereka mengkeruk keuntungan tanpa memikirkan nasib masyarakt miskin. Dan bagaimana kelanjutan nasib para petani kita dan nasib masyarakat Indonesia, kita lihat saja nanti. Dan mudah-mudahan para pejabat kita yang berkuasa tidak sibuk memperkaya diri sendiri tapi dapat membantu meringankan beban masyarakat indonesia yang masih tergolong miskin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H