Saya memikirkan anda saat duduk di depan teras tengah malam. Sebab ssekor pengerat berbulu hitam berlari di atas tembok, ukurannya mungkin lebih besar dari anak Anggora. Hewan beringas itu saya yakin tidak akan Nona jumpai, mungkin, sepanjang hidup. Sulit Nona pahami mengapa hewan itu bisa ada. Dan mengapa mereka tanpa segan menampakkan diri di hadapan para pencipta pestisida ini.
Saya berdiam diri memandangi puluhan alor yang mengitari lampu teras tetangga. Tidak mungkin nona bisa pahami mengapa mereka mengitari cahaya putih itu. Sebab inilah jarak atas anda di balik kaca memandangi kota malam, dan saya di hadapan rawa comberan mencari angin segar. Saya benci mengenali anda sebagai lawan jenis yang jelita. Sebab api yang tertiup angin, memanaskan tungku angan-angan seorang pria kecil. Namun begitu, tetap kesalahan saya punya mimpi. Tetap kebiasan buruk saya dalam mengenali jelita sebagai lawan jenis.
Kita tidak pernah merdeka. Kendati telah reformasi bersuara, atau atap negeri adalah demokrasi mutlak. Wujud dari konglomerasi dan kaum keladi tetap bersemayam dalam jasmani peradaban modern. Pemikiran dua kaum bersemayam dua wujud, mewakilkan cara pandang, pengambilan keputusan, selera makan dan budaya bawaan. Dua wujud dengan pemikiran yang terbentuk dari ruang tempat mereka bersemayam. Tiada orang dari kaumku yang terbiasa mencium aroma lumpur dan kolam limbah, dapat berpikir membeli koleksi mewah untuk kepuasan pribadi. Kami membagi diri kepada orang-orang yang hidup di sekitar kami, yang hidup bersama dan makan bersama kami. Seorang ibu yang mungkin menghasratkan untuk memiliki tas tangan mewah ke pernikahan, harus memajang hasrat pada dinding angan, sebab seorang anak membutuhkan baju sekolah.Â
Sebab seorang suami membutuhkan telur goreng di siang hari, tempe bacem di malam hari agar tubuhnya kuat menjalani pagi, agar dirinya kembali dengan beberapa lembar uang mencukupi hidup mereka, mengisi kebutuhan sekolah anak mereka. Belum kujelaskan hasrat Si suami. Pria kadang begitu dingin sehingga tak nampak niat ataupun maunya, tetapi sebenarnya, kepala mereka seperti cerobong berasap, memproduksi angan yang tidak terhitung jumlahnya. Kaum kami kaum tikus. Memamahbiak tak terhitung, menghantui gelagat---wajah kemewahan kota. Sekali kami adalah tikus, tikus yang menanjak, mendiami gedung penyobek cakrawala tikus yang berdasi. Sekali tikus tetap tikus! Telah menjadi rahasi---kami telah mufakat hidup dijalani bukan sekadar keberuntungan dan usaha. Untuk perubahan Nasib yang instan, mesti-lah seekor tikus membuat jalan tikusnya masing-masing.
Begitulah Nona, sedikit wujud dari kaumku. Kaum yang mendiami pinggiran piring perkotaan, sedangkan kaum Nona adalah santapan utama. Berada di sentral kemewahan kota. Mencintai Nona bagi saya adalah kutukan. Mengapa pula kita menyebutnya cinta jika tiada daya memiliki. Cinta harus memiliki tetapi sadar diri lebih bijaksana.
Saya tidak lagi dapat membedakan kebijaksanaan dan juga pesimisme. Bagi keduanya dituturkan bak saudara kembar, tetapi baik sikap maupun perawakan, menujukkan dua sosok bak langit dan kamar yang gelap. Langit untuk dada yang lapang, kamar yang gelap untuk seorang pria yang senang memeluk diri sendiri seraya meringis, mendengar suara-suara di dalam kepalanya, yang memperingatkan betapa bahayanya rasa terluka bagi dadanya. Sungguh Binatang malang yang luntang lantung mencari jalan pulang di tengah badai kilat.
Nona pemilik bunga yang mekar pada tulang pipinya, sekali, dapat kicium bunga itu sesaat setelah kulewati batas antara realita dan imajia, punggung jariku yang menyentuh halus tanahnya. Ah terkutuk dunia maya. Terktuklah mengetahui tanpa pernah memiliki keberanian untuk mengenal.
Tertanda,
Petani yang menjual tanahnya demi merantau ke kota
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H