Mohon tunggu...
Ambiwwa Novita
Ambiwwa Novita Mohon Tunggu... -

Gadis remaja penyuka apapun yang turun dari langit dan menempel dilangit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Hanya Sekedar Kata

12 Desember 2012   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:47 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bandung, 12 Desember 2012

Ungkapan Hati untuk Wanita Istimewa

Wanita berwajah tenang, di tahun 1994 mengandung seorang bayi. Dia begitu sabar membawa bayi dalam kandungannya kemana-mana. Tak pernah mengeluh sedikitpun, tak pernah merasa keberatan membawa apa yang ada didalam perutnya. Setiap malam dia bersujud dan memohon supaya anaknya terlahir dengan baik, sehat, pintar dan shalehah. Selama 9 bulan ia mengandung, sampai akhirnya dia bertemu dengan hari akbarnya dimana dia harus berjuang untuk melahirkan anak yang ada didalam kandungannya. Susah payah ia berjuang, bulir-bulir keringat menyetubuhinya, tak ada yang dia harapkan selain anaknya. Tentang keselamatannya tak begitu  dia pedulikan, dia terus berjuang mangatur nafas, merelaksasikan dirinya demi anaknya supaya mudah keluar dari sarang perut. Perjuangannya berakhir pada pukul 21.40 WIB di tanggal 1 November 1994, badannya begitu lemas namun dia tetap berusaha stabilkan nafas, tak peduli masih merasa kesakitan,dia menanyakan anaknya, dia ingin memeluknya, dan anak beruntung yang lahir dari rahimnya, anak itu adalah aku. Betapa bahagianya aku terlahir dari seorang wanita istimewa, Ibuku. Aku yakin Tuhan pasti tidak salah menyimpanku dirahim wanita ini, aku siap hadapi dunia dengan tuntunan wanita istimewa ini. Tangisanku membludak seolah konfirmasi bahwa aku ingin sekali dimanja oleh Ibuku. Ibu langsung memeluk dan menciumiku ketika perawat memberikan aku kedalam buaiannya. Naluri hausku mulai memaksanya untuk memberikan apa yang kumau, tak peduli dia masih merasa kelelahan dan kesakitan, aku langsung menyakiti sekaligus membahagiakannya.

Aku begitu merasa puas dengan apa yang ia beri, namun kepuasaanku belum berhenti pada saat itu, aku mulai membuatnya repot, aku tak peduli dia sedang makan, atau berkutat dengan aktivitasnya, aku ingin dia untukku. Selalu ada untukku, itu harapanku. Aku berhajat saat dia sedang makan, aku menangis saat ia baru saja beristirahat, aku terus menyakitinya namun ia bahagiakanku secara ikhlas dan secara Cuma-cuma. Saat aku tertidur, dia tak tidur, matanya terbuka hanya untukku, mengawasiku dimalam hari, tak mau ada satu apapun yang mengusik tidurku, sekalinya meninggalkanku ia pergi untuk berkomunikasi dengan Tuhan, dia selalu sematkan namaku dalam do’anya. Air matanya selalu menetes ketika ia ucapkan semua harapan tentangku.  Air matanya menjadi bulir-bulir indah menetes saat berkomunikasi dengan Tuhan, dia rela menomor sekiankan apa-apa yang menjadi inginnya, hanya untuk utamakanku dalam do’anya.

Pagi, Siang, Sore, dan Malam ia terus  disampingku, mengamatiku apakah aku digigit nyamuk atau tidak, mengamati mataku, mengamati dari ujung kepala sampai keujung kaki, begitu perhatiannya dia kepadaku, namun apa yang kuperbuat aku selalu sering menangis diwaktu yang bisa dibilang tak tepat. Tangisan bisingku tak pernah buat dia marah,dia selalu saja habiskan waktunya bersamaku. Masa bayiku begitu indah dalam dekapannya.

Waktu tak terasa beranjak, aku sudah bergigi, pandai berbicara dan berambut banyak, kakiku sudah termodifikasi bisa lari-lari, aku semakin menyusahkannya ternyata, kupecahkan piring yang ada dicucian, namun dia tak memarahiku, dia langsung panik, tak dipedulikannya piring pecah itu, dia segera mengangkat badanku yang mulai berat dan bertanya apakah ada yang luka, aku hanya menggelengkan kepala dan sedikit merasa bersalah. Aku mulai berfikir, naluri rasa bersalahku timbul, naluri cintaku mulai tumbuh, aku tak mau membuatnya khawatir lagi, aku mulai perbaiki sifatku, aku selalu curi-curi perhatian dnegan cara mencuci piring didapur, untuk menarik simpatinya, dan ternyata Ibu begitu kagum kepadaku, pujiannya membuatku melayang, aku menjadi semangat untuk mendapatkan gelar “anak rajin”. Setiap malam aku masih menyita waktunya, namun kali ini ninaan boboku tak seperti bayi.  Komunikasiku dengannya kini menggunakan media buku dongeng, setiap malam aku selalu didongenginya, berselimut dan berpelukan. Ibu tahu aku takut dengan gelap ketika mati lampu , namun dia selalu yakinkanku “Jangan takut, Ibu ada disampingmu, lagipula Yang Maha Terang ada bersama kita”.

Begitu banyak waktu yang kuhabiskan bersama Ibu, karena Bapak adalah seorang tentara yang jarang ada dirumah, dia berjuang demi Negara, dan demi keluarga juga ternyata. Aku tumbuh tak terasa, aku mulai berseragam putih-merah, Ibu selalu ajarkanku materi-materi pelajaran, aku merasa begitu nyaman dengan cara mengajarnya yang memang terlihat lebih kumengerti daripada ajaran seorang guru disekolahku, aku masih disuapinya ketika akan makan, aku begitu kerumitan dengan tali sepatu sehingga dia yang selalu menalikan sepatu taliku. Hari berganti hari, Ibu selalu ada disampingku sampai suatu ketika hidupku seperti dihimpit batu besar, ketika  kabar tentang Ayah pulang ke rahmatullah di Medan Perang, itu begitu terasa memilukan, beruntung ada Ibu yang menguatkanku. Shubuh itu adalah Shubuh tersedih dalam hidupku, Ibu masih memelukku, masih menyamankanku, mengamankanku, dan menenangkanku, meskipun kesedihan Ibu tak bisa disembunyikan, kami sama-sama menangis. Belum  lagi saat itu adikku masih kecil, Ibu memeluk kami berdua, “Tenang sayang, tenang ya ada Ibu untuk kalian” itu ucapnya.

Tantangan dimulai, aku dan Ibuku saatnya beradaptasi dengan dunia baru, dunia terasa begitu liar dan jahat tanpa Ayahku. Aku selalu disemangati Ibu supaya rajin belajar, dan semangatnya memang ajaib, aku tumbuh menjadi anak yang tak begitu mengecewakannya didalam bidang prestasi. Seragamku sudah berganti menjadi putih-biru, lalu menjadi putih-abu itu berkat keringatnya, itu semua berkat do’anya , Ibu membanting tulang untukku bersekolah, tak peduli lipsticknya habis, tak peduli bedaknya habis, dia selalu utamakan kepentingan anak-anaknya. Bahkan sampai ketika aku lulus SMA, aku tak begitu yakin akan melanjutkan kuliah namun ia terus menyemangatiku, sampai akhirnya kini aku duduk dibangku kuliah, hatiku pilu harus jauh darinya, jauh dari wanita terhebat, impiannya tentangku pasti begitu besar, tak kan tega aku mengecewakannya,batinku meradang belum terbiasa jauh darinya.

Begitu banyak hal terindah sekaligus membuatku berurai air mata, aku sudah sebesar ini karena asuhannya, kasih sayangnya, dan do’anya. Begitu semangat aku belajar dibangku perkuliahan ini, aku ingin segera berlari kedunia kerja dan bahagiakannya walaupun mungkin pencapaianku tak sebanding dengan perjuangannya selama ini. Begitu tak terhitung sudah berapa kali aku menyakitinya, aku begitu merasa malu atas diriku. Kini aku dan Ibuku terpisah kota, namun setiap malam entah mengapa, hangat pelukannya seolah mendarat didagingku, dan suaranya yang khas selalu saja terngiang “jangan tidur malam-malam, nanti sakit”. Terimakasih Tuhan, kau simpan aku didalam rahim seorang wanita hebat, kau biarkan aku dibuainya, kau biarkan aku dibimbingnya. “Ya,Tuhan izinkan aku suatu hari nanti untuk bahagiakannya, membuatnya tersenyum, dan hangatkanku lagi dalam pelukannya, sungguh kini ku begitu merindukan Ibu , yang berjuang untuk anak-anaknya”. Wajah teduhnya selalu saja berhasil sembunyikan semua sedihnya, semua sakitnya, dia terkadang begitu rapuh namun ia selalu berhasil tutupi itu dengan semangatnya. Terimakasih Ibu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun