Lemper rupanya sudah diterima di banyak tempat di negeri ini sebagai salah satu kudapan tradisonal khas Indonesia. Rasanya yang gurih liat, karena terbuat dari beras ketan yang diisi suwiran daging sapi maupun ayam yang gurih, memikat siapa pun penikmatnya. Di Sulawesi Utara, lemper dikenal sebagai lalampa yang berisi suwiran ikan tongkol yang dimasak sedemikian rupa. Setelah dibungkus daun pisang, lalampa biasanya dibakar di atas arang sebentar untuk menghasilkan aroma yang khas. Pokoke mak nyuus, persis seperti kata pak Bondan.
Suatu kali, jeng Sari teman saya beradu pendapat nan seru dengan ibu mertuanya gara-gara sebungkus lemper. Ibu mertua menginginkan jeng Sari memperbesar bulatan lemper plus isinya, karena sebesar itulah ia biasa membungkus lemper untuk acara arisan di rumahnya, di sebuah desa nun di ujung selatan Jawa Timur. Sementara jeng Sari yang hidup di kota terbiasa membungkus lemper dengan ukuran lebih kecil dari yang dikehendaki sang ibu mertua. Alasannya karena etika dan estetika semata.
Pikir jeng Sari, lemper yang bentuknya terlalu besar tak akan elok disantap tetamu. Membuka mulut lebar-lebar demi sebungkus lemper sebentar bantal, ibaratnya seperti itu, tentu bukanlah pemandangan yang enak dilihat. Kalau bentuk lemper lebih kecil tentu memudahkan tamu menyantapnya. Yang makan tidak sungkan, dilihat juga elok. Dengan bentuk lemper yang besar akan memaksa penyantap menghabiskan, karena jika tidak akan dianggap kurang sopan karena tidak menghargai tuan rumah. Masalahnya,
kalau ada tetamu yang sudah kenyang perutnya, apakah ia harus ‘dipaksa’ menelan lemper sebesar bantal demi menjaga perasaan sang nyonya rumah? Bukankah lebih bijaksana membungkus lemper dengan bentuk yang lebih kecil, agar urusan etika dan estetika terakomodasikan? Jeng, rupanya jeng Sari lupa satu hal. Priyayi kota dan priyayi desa dalam hal kudapan, terkadang berbeda. Tidak saja selera, tetapi juga yang dianggap sebagai etika dan estetika bagi priyayi kota kadang malah dianggap tak sopan dan tak indah dalam kacamata priyayi desa. Apa iya, jeng?
Bagi ibu mertua jeng Sari dan para tetangganya, membungkus lemper bukan sekedar membungkus dengan daun pisang sebagaimana mestinya. Bungkusan lemper yang besar, dengan isi dan kepalan lemper yang juga besar, menandakan keikhlasan memberi. Memberi, menjamu, memuliakan tamu, salah satunya dengan cara membuat lemper—juga kudapan tradisional lainnya—dalam ukuran yang bagi orang kota terbilang besar. Nah, jelas kan dimana pangkal dan akar masalahnya.
Sederhana saja bagi ibu mertua jeng Sari. Kalau ia ikut saran jeng Sari—yang tepat dalam perspektif priyayi dan ‘adat’ kota—memperkecil ukuran lemper, maka bisa-bisa ia dianggap menyalahi ‘prosedur’. Biasanya lemper yang dihidangkan sebesar bantal bayi, ini kok mengempis segede bola pingpong. Tuduhannya bisa ‘serius’, mulai dari pelit, tidak sopan karena melanggar konvensi konsumsi priyayi desa, hingga tidak memuliakan tamu. Artinya jeng, sopan di sini belum tentu sopan di sana. Jadi tak usah ribut saling menyalahkan siapa yang benar, priyayi desa atau priyayi kota. Toh, lemper desa juga bahannya sama dengan lemper kota!
Atau kita bisa melihatnya begini: mau segede apa itu lemper, di desa pasokan daun pisang pembungkus amat melimpah. Tinggal tebas di pekarangan rumah. Tak perlu bersusah ke pasar seperti mereka yang hidup di kota. Bisa jadi kalau daun pisang tersedia hampir di setiap pekarangan rumah di perkotaan maka lemper priyayi kota akan sama besar dengan lemper priyayi desa. Meski daun pisang pembungkus lemper bisa digantikan dengan plastic yang menyerupai daun pisang, tetap saja rasa otentik dari daun pisang asli tak tergantikan. Yang otentik itu mahal harganya di kota. Jadi memperbesar ukuran lemper berarti juga memperbesar ongkos produksi lemper. Ujung-ujungnya berurusan lagi dengan nilai ekonomis. Gitu lo, jeng! Yang pasti, hanya di Indonesia kita bisa makan lemper sambil mengenakan daster!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H