“Pus, Papi punya tebakan. Orang jalan di mana, kalo sendirian takut, tapi kalo rame-rame tambah takut?” ujar Papi.
“Ah, Lupus tau, Pi. Orang jalan di jembatan reyot. Hahaha…Sekarang giliran Lupus, Pi. Orang apa yang kalo pake baju boros banget?”
“Papi tau. Hulk. Hahaha…(Hilman&Boim,Lupus Kecil: JJS Jalan-jalan Seram!)
Cuplikan dialog di atas diambil dari salah satu serial cerita Lupus Kecil karya Hilman dan Boim. Ceita Lupus Kecil layak direkomendasikan sebagai bacaan anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dan bisa digunakan guru sebagai materi pembelajaran bahasa sekaligus apresiasi sastra Indonesia. Benarkah demikian?Bukankah bahasa Indonesia dalam Lupus Kecil (LK) sarat dengan muatan humor? Bagaimana bisa memahamkan pelajaran Bahasa Indonesia yang 'sulit' kepada siswa SD melalui cerita-cerita lucu sepeti dalam LK? Benarkah humor bisa membuat anak-anak SD menyukai pelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
Humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 1994:2). Sebagai homo ludens (manusia
bermain) manusia adalah mahluk yang suka bermain-main. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak, pun orang dewasa. Bahkan, bermain adalah sebagian dari proses belajar. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan, dirangsang dan dikembangkan. Melalui permainan juga seorang anak dipersiapkan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyianrakyat, tembang dolanan, julukan, karikatur, kartun, nama tempat dan bahkan nama makanan yang mengundang tawa.
Danandjaja (1989:498) menyatakanbahwa humor dalam masyarakat, baik yang bersifat erotis
maupunprotessosial berfungsi sebagai penglipur lara. Hal ini disebabkan karena humor dapat melepaskan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui canda dan tawa. Lebih jauh, Danandjaja menyatakan bahwa dalam situasi masyarakat yang sedang terpuruk, humor berperan besar melepaskan ketegangan yang dialami oleh suatumasyarakat (1989:16). Humor dapat membebaskan manusia dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan., sehingga manusia dapat mengambil tindakan atau keputusan yang lebih bijaksanaan.
Sebagai wacana kritik sosial, humor dapat ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat
kabar, majalah, dalam bentuk kartun, artikel ringan, atau juga cerita-cerita humor. Humor tidak saja dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Salah satu karya cerita anak-anak bermuatan humor dapat dijumpai dalam serial cerita anak-anak yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya dan Boim, yang berlabel Lupus Kecil. Serial Lupusmerupakan novel remaja yang diangkat dari cerpen-cerpen Lupus di majalah Hai pada tahun 1986(Kejarlah Daku, Kau Kujitak) yang kemudian menjadi best sellers. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1989, terbit serial Lupus kecil pertama, yang berjudul Lupus Kecil. Serial Lupus kecil terdiri dari 13 judul, yang terbit dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni antara 1989-2003.Kajian mengenai wacana humor dalam karya sastra, khususnya sastra anak-anak belum dilakukan, khususnya yang mengangkat serial Lupus Kecil (LK).
Tokoh Lupusdalam serial Lupus Kecil adalah seorang anak berusia tujuh tahun, duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia digambarkan cerdas dan humoris. Lupus seorang anak periang, mempunyai seorang adik perempuan bernama Lulu. Karakternya yang periang dan suka bercanda membuat Lupus banyak mendapatkan pengalaman menyenangkan maupun sebaliknya.
Humor, baik verbal maupun nonverbal, pada dasarnya merupakan rangsangan spontan untuk memancing tawa penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum adalah merupakan indikator yang paling jelas bagi pengalaman atau penikmatan humor (humor experience). Ada tigateori yang berusaha menyingkap esensi humor, diantaranya adalah teori pembebasan (relief theory), teori pertentangan (theory of conflict), danteori ketidaksejajaran (incongruity theory).
Membaca Lupus Kecil
Tidak seperti cerita anak-anak pada umumnya yang ditulis dengan bahasa baku dan formal, bahasa yang digunakan dalam cerita serial Lupus Kecil adalah informal. Teks dalam cerita ini lebih banyak ditulis dengan gaya tutur lisan dan cenderung mencerminkan gaya tutur keseharian anak-anak yang tidak mengindahkan pola kalimat baku. Seperti contoh berikut ini:
(i)Lupus?
Iya, Lupus. Anak yang punya rambut tebal, bermata bulat, punya hidung lucu itu bernama Lupus. Kata dia, gampang kok ngenalnya. Kalau kamu jalan-jalan terus ketemu anak kecil dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Lupus”, nah berarti dia itu Lupus. (Lupus Kecil, 1989:13)
(ii)Bosan bermain-main di depan, Lupus pun masuk kembali ke dalam rumah. Tapi ternyata ibunya belum selesai membuat kue. Uh, kok lama sekali, ya? Biasanya nggak gini-gini amat?
Lupusmemangtak tahu kalo ibunya di dapur tengah dalamkesulitanmenerjemahkanresep kue yangberbahasa Prancis. Ibu Lupus sedang menduga-duga, apa kalo bikin kue Prancis garamnya harus garam Prancis, bukan garam Inggris? (Lupus Kecil, 1989:14).
Kata-kata yang dicetak miring di atas menunjukkan kepada pembaca kesan yang ingin dibangun dalam cerita Lupus adalah santai dan akrab. ‘Pemindahan’ kata kalau yang baku menjadi kalo, tidak menjadi nggak, begini menjadi gini-gini dalam narasi Lupus mengindikasikan suasana informal yang kuat. Pilihan menggunakan kata-kata nonbaku dalam cerita ini menguatkan pesan bahwa cerita ini ditujukan untuk membangun kedekatan dengan anak-anak usia sekolah dasar yang baru belajar bagaimana seharusnya mengembangkan sikap dalam berinteraksi dengan orang lain.
Pernyataan di atas bisa dikategorikan sebagai kajian terhadap fonologi karena berkaitan dengan bunyi dan pola-pola bunyi yang diujarkan. Santosa menyatakan bahwa bunyi dan pola-pola bunyi berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas sosial dalam masyarakat (2012:161). Dalam konteks ini, pilihan bahasa informal dalam cerita Lupus memberi penegasan lebih mementingkan jalinan keakraban dalam berinteraksi dengan menyederhanakan kata-kata baku menjadi lebih mudah diucapkan dan easy listening (mudah didengar/dipahami). Secara signifikan, pilihan bahasa nonbaku yang digunakan mengindikasikan sosok Lupus yang masuk dalam kelompok sosial common children (anak-anak kebanyakan/anak-anak pada umumnya). Anak-anak yang baru menginjak bangku sekolah dasar dengan warisan sikap dan gaya bicara saat masih di taman kanak-kanak, yaitu cenderung memakai gaya bahasa santai, informal dan berorientasi pada dirinya sendiri (ego sentries).
Bahasa nonformal, santai dan cenderung memancing tawa orang lain yang dipakai Lupus menunjukkan identitas dirinya sebagai anak periang, cerdas dan kritis menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Mari kita cermati monolog dan dialog berikut ini (Lupus sedang berakting menjadi penyiar radio untuk menghibur adiknya, Lulu.
(iii) “Di stadion utama Senayan, sejak kemarin sore hingga pagi hari tidak ada yang bermain sepak bola, hingga saya tidak tahu berapa golnya dan siapa wasitnya……Nah sekarang acara siaran berita sudah habis saudara-saudara, kini kita masuki acara Taman Indria bersama Bu Kasur. Adduuuh tapi sayang sekali, acara ini tak dapat disiarkan, lantaran kasurnya masih dijemur…
Tepat saat Lupus mengakhiri siaran beritanya, terdengar suara bel tamu berdentang.
“Ibu pulaaaang,,,” teriak Lulu….Tapi Lupus tetap di tempatnya, sampai kedua orang tuanya muncul dari pintu depan.
“Aduh, Lupus! Apa-apaan ini? Kenapa radio Bapak jadi berantakan begini,” seru bapaknya ketika melihat radionya tergeletak tak berbunyi di lantai. “Pasti kamu yang merusaknya ya? Ayo kemari!!!”
“Saudara-saudara,” Lanjut Lupus tenang,”Ini baru berita penting…” (Lupus Kecil, 1989:35-36).
Lupus memposisikan dirinya sebagai anak yang periang yang suka menghibur orang lain. Ia juga cerdas dan kritis karena bisa berperan seolah-olah penyiar radio yang sedang membawakan acara. Ia langsungmembawakan ‘acara’nya begitu saja, tanpa naskah yang ditulis sebelumnya. Ia membangun identitas dirinya sebagai anak yang pandai menghibur orang lain melalui kata-kata yang dirangkainya. Kata-kata tersebut menerbitkan tawa bagi Lulu, adiknya. Ia menegaskan dirinya sebagai anak periang yang mampu membalikkankeadaan yang memojokkan dirinya dengan menjadikan kemarahan ayahnya sebagai hal yang bernilai‘berita’. Dengan melakukan hal tersebut, Lupus membangun relasi anak-ayah dengan cara yang lebih akrab. Ia tahu ayahnya marah, maka ia berusaha membangun kedekatanmelalui humor yang dilontarkannya. Relasi yang dibangun Lupus dengan ayahnya juga menandai pencairan relasi kekuasaan antara kuasa ayah (orang tua) terhadap anak yang cenderung menempatkan orang tua sebagai pihak yang berkuasa atas anak. Kemarahan ayahnya adalah wujud dominasi kekuasaan orang tua terhadap anaknya, Lupus berusaha mencairkan ketegangan atas kekuasaan ayahnya denganmengatakan “Ini baru berita penting”.
Menggunakan bahasa bisa berarti membangun atau sebaliknya merusak sistem tanda atau sistem komunikasi (Rogers, 2011:33). Lupus sadar bahwa kemarahan ayahnya akan menuntunnya pada posisi yang tidak menguntungkannya. Maka ia membalikkan kemarahan ayahnya sebagai sebuah hal yang mempunyai nilai “berita”. Ia berharap ayahnya mengapresiasi lontaran humornya dengan tidak melanjutkan kemarahannya.
Humor Sebagai Identifikasi Diri
Lupus sadar benar bagaimana memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yaitu sense of humor untuk membangun identitas dirinya. Ia adalah kakak yang pandai menghibur Lulu, adiknya. Ia tahu benar bagaimana membuat adiknya lupa sejenak akan kekesalan yang dialaminya karena menunggu kepulangan Ibunya, meski radio kesayangan ayahnya kemudian rusak dan menimbulkan kemarahan sang ayah. Sebagai anak, Lupus juga berusaha menjadi sosok yang bertanggung jawab. Seperti ketika Ibunya kesal karena Lulu susah makan. Lupus berusaha membantu dengan caranya sendiri, seperti pada cuplikan berikut ini.
(iv)Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa sih susahnya, pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru , orang hidup mesti tolong menolong untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaanjuga. Maka harus dibantu. Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus tetap asyik. Ia menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa (Lupus Kecil, 1989:70-71).
Dengan logikanya sendiri Lupus berusaha membantu Lulu untuk menghabiskan makanannya, meski apa yang dilakukannya salah. Lulu biasanya disuapi sang Ibu, tetapi saatitu Ibu sedang kedatangan tamu. Maka Lupus merasa ia berkewajiban membantu Ibunya. Dari peristiwa tersebut jelas ada ketidaksejajaranpersepsi antara Lupus dan Ibunya. Ketidaksejajaran tersebut mengundang tawa Ibunya. Humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks.
Lupus adalah anak yang pandai bergaul. Ia mempunyai banyak sahabat dan teman. Ia sadar bagaimana menggunakan humor untuk mengidentifikasi dirinya sebagai pribadi yang setia kawan dan bisa menyenangkan sahabat dan teman-temannya,berikut cuplikannya.
Lupus sedang menghadiri pesta ultah Pepno, salah satu sahabatnya. Lupus yang berharap kue tar segera dipotong agak malas saat ia diajak melakukan permainan mengoper gelas yang berisi air secara berantai. Seharusnya ia mengoper gelas berisi minuman itu ke teman sebelahnya, tetapi ia malah meminumnya. Alhasil ia pun dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi. Tanpa ragu, Lupus membacakan puisi karyanya sendiri.
“Di laut sudah pasti ada air/Di air belum tentu ada laut/di rumah sudah pasti ada pintu/di pintu belum tentu ada rumah/di meja sudah pasti ada sepotong kue/dan kuenya belum tentu dipotong…
Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yangmendebarkan bagi Lupus tiba, Pepno memotong kue tar jadi beberapa bagian…(Lupus Kecil, 1989:54-55).
Lupus menggunakan puisi yang mengandung humor untuk menghibur temannya sekaligus memenuhi keinginannya. Ia ingin segera makan kue tar ulang tahun Pepno, maka ia dengan sadar membawakan puisi yang menyindir agar kue ulang tahun segera dipotong. Ia mendapat dukungan dari teman-temannya yang bertepuk tangan tanda setuju. Ia menggunakan humor untuk mendapatkan keinginannya. Kepandaian membawakan humor menempatkan Lupus sebagai sosok yang mudah mendapatkan teman, dan tentu saja ia juga mudah disukai orang lain karena sosoknya yang suka bercanda. Lupus menempatkan humor sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan meneguhkan identitas dirinya di tengah lingkungannya. Eksistensinya diakui sebagai anak yang lucu, pandai bergaul dan pintar.
Anak-anak mengidentifikasi tokoh protagonis dalam cerita yang menghadapi kecemasan, ketakutan, tawa yang sama. Anak-anak menikmati dan belajar melalui membaca dan mengalami situasi problematik yang dihadapi tokoh dalam cerita dengansedikit stress dan lebih banyak kegembiraan, sehingga mereka mampu menghadapi kecemasannya dengan tingkat stress, kecemasan dan ketakutan yang lebih sedikit. Kemampuan mengatasi tekanan yang dihadapi anak-anak sehari-hari bisa didapatkan melalui kegiatan membaca cerita anak-anak yang bermuatan humor.
Cerita anak-anak yang bermuatan humor dapat dijadikan referensi bagi anak-anak untuk mampumengatasi persoalan sehari-hari yang mereka hadapi. Persoalan keseharian yang diangkat dalam serial Lupus Kecil menjadi relevan bagi pentingnya wacana humor dalam kehidupan anak-anak saat ini. Kondisi kehidupan dalam berbagai segi menuntut anak-anak menjadi aktor sosial yang selalu kompetitif.Kompetitif danadaptif dalamsegala hal. Keadaan ini rentan memicustress dan kondisi psikologis yang tidak menguntungkan anak-anak. Kehadiran cerita anak-anak bermuatanhumor adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu meminimalkan tekanan yang dihadapi anak-anak.
Humor dalam cerita LK dapat digunakan sebagai media sekaligus materi untuk pembelajaran bahasa dan apresiasi sastra Indonesia. Stigma bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran yang membosankan dan 'sulit' di mata siswa, bisa dikikis habis melalui pemilihan bacaan yang bermuatan humor. Cerita-cerita dalam LK layak digunakan sebagai materi pembelajaran bahasa Indonesia, mengingat materi humor yang digunakan pengarang sangat dekat dengan kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam bahasa Indonesia, seperti menulis surat pribadi, membaca dan menulis pantun. Penggunaan bahasa infomal dalam cerita LK dapat digunakan sebagai contoh konkrit bagaimana membedakan penggunaan bahasa informal dan formal dalam interaksi sehari-hari. Bukankah esensi belajar bahasa adalah untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis? Seriuslah berhumor untuk mencintai bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H