Dalam pembahasan di bagian-2 ini penulis akan lebih memijakkan pembahasan di atas fondasi bangunan pendidikan dasar (SD/MI). Dari contoh kasus Tiwi dalam tulisan terdahulu nampak bahwa keterkungkungan sekolah oleh hajatan bernama Ujian Nasional (UN) ataupun Ujian Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) telah menghimpit sedemikian kuat sekolah-sekolah yang bermisi besar untuk memerdekakan anak-anak didiknya. Padahal, amanat UU Sisdiknas, yang salah satunya menyatakan bahwa yang punya hajat mengevaluasi siswa adalah guru, nyata-nyata justru dilecehan oleh pihak yang seharusnya melaksanakan dan mengawal Undang-undang itu: Kemendiknas. Luar biasa!
Kemendiknas, melalui kebijakan UN-nya, sadar atau tidak, telah menancapkan dengan kuat sebuah paradigma dalam proses pemberdayaan siswa : duduk manis, mendengarkan, diterangkan, diberi contoh dan diajari mengerjakan soal, di-drill sedemikian sehingga tujuan memeroleh nilai tinggi tercapai. Bahkan, sebagaimana telah menjadi berita besar beberapa saat lalu, untuk menggapai kelulusan, ada guru yang telah “terpaksa” menanggalkan salah satu pilar terpenting dalam bangunan pendidikan : kejujuran.
Kebijakan UN sebagai salah satu penentu kelulusan telah mengingkari jati citra ciptaan Tuhan. Bagaimana tidak : anak 'yang lamban/belum berproses' harus dapat mengerjakan soal yang dibuat untuk anak yang cepat/sudah berproses. Dengan bahasa yang amat kejam : anak bernilai 1 dikatakan bodoh dan anak bernilai 10 dikatakan pintar ; dengan catatan, anak yang bodoh harus lebih giat belajar sehingga menjadi anak pintar. Tak ada pengakuan bahwa insan-insan memiliki potensi beragam sebagaimana Sang Khalik berikan. Kebijakan ini harus segera dihentikan! Tiwi dan semua siswa di Indonesia ini tidak harus sama 'bergolongan pintar' untuk dapat dinyatakan lulus! Guru, harus boleh (bahkan wajib) menggunakan alat evaluasi yang dirancangnya atas dasar proses yang dilakukannya.
Guru wajib menentukan jenis soal ujian berdasarkan kriteria yang dibuatnya sendiri berdasarkan standar kompetensi dan kelulusan yang dibuat dalam kurikulum sekolahnya (KTSP). Demikian juga, tingkat kesulitan soalnya pun guru sudah mengerti apakah hanya dibuat satu tingkat atau bervariasi dengan melihat keberbedaan anak yang baru, sedang, dan sudah berproses. Dan sesuai dengan tingkatan tersebut, soal-soal dibuat sedemikian sehingga selama ujian berlangsung tidak terjadi ‘pengangguran’ sebagai akibat "si anak bodoh" tak dapat mengerjakan soal-soal yang dihadapinya. Misalnya, sebagaimana penulis lakukansaat dulu, dengan diadakannya pilihan soal standar (untuk siswa yang sudah berproses) dan soal konversi (untuk siswa yang sedang berproses). Dua contoh soal dalam kasus Tiwi adalah contohnya. Soal-soal ujian, selain tetap harus dibuat dengan tujuan menumbuhkembangkan sikap kreatif, eksploratif dan inovatif dalam diri siswa, juga berpegang pada proses kognitif, afektif dan psikomotorik.
Satu contoh kongkrit, pembelajaran matematika yang dilakukan dengan paradigma terkini (salah satunya dengan pembelajaran matematika realistik-konstruktif) dimana tujuan proses pembelajarannya mengutamakan terbentuknya pola berpikir konstruktif-humanistik dalam diri anak didik, maka dalam evaluasinya pun pasti akan memakai kaidah evaluasi berformat pembelajaran matematika realistik. Soal ujian berformat uraian aplikatif dan atau terapan/praktek merupakan pilihan, tentu dengan tingkat kesulitan disesuaikan dengan pengelompokan yang guru lakukan. Mohon perkenan sidang pembaca mencermati dan menghayati dua contoh soal tingkat sekolah dasar berikut ini (soal-1 bertingkat kesulitan sedang dan soal-2 bertingkat kesulitan tinggi, dari lima tingkat kesulitan : amat rendah, rendah, sedang, tinggi, amat tinggi):
Soal-1 :
Soal-2 :
Terbayang dalam pikiranku kejadian kemarin sore, aku dimintai tolong Amri, teman bermainku, untuk membantunya mengerjakan tugas dari gurunya. Kata Amri kemarin: “Aku mendapat tugas untuk mencari rata-rata lebar daun katu. Padahal aku belum pernah menjumpai pohon katu. Tolong dong ....” Dengan bangga dan senang hati aku menyanggupinya, karena pernah kulihat di halaman sekolahku ada pohon itu. Sekarang, aku akan mencobanya, supaya nanti sore aku dapat membantu sahabatku dengan lancar.
(Kepada peserta ujian, laksanakan niatmu dengan percaya diri! Silakan bawa kelengkapan ujian ke pohon yang dimaksud dan lakukan dengan tertib! Tuliskan langkah-langkah dan penghitungannya di lembar jawaban. Hasil akhirdibulatkan menjadi persepuluhan.)
****
Dari dua contoh soal berprosespembelajaran konstruktif-humanistik tersebut tentunya dapat kita cermati dan hayati banyak aspek, di antaranya :
1.Tiga pilar utama proses didik yakni: kognitif (dari hasil perhitungan), afektif (menghayati, memahami, timbul rasa/niat dari melihat/membaca soal) dan psikomotorik (cara siswa mencapai tujuan soal)
2.Pengingatan diri sebagai mahluk sosial (cinta sesama, rasa saling membutuhkan).
3.Seyakinnya soal semacam itu akan dikerjakan dengan nyaman dan rasa senang oleh peserta ujian.
4.Soal tidak bertentangan dengan aspek kelaziman dan aspek perunutan logika. Kita cermati dua contoh soal “biasa” berikut ini:
Soal-3:
Saat ini umur ayah 4x umur adik. Selisih umur mereka 30 tahun. Tiga tahun lagi, berapa jumlah umur mereka?
Soal-4:
Seorang peladang memeroleh panenan cengkeh 12 kuintal. Setelah dijemur susut10%. Berapa berat cengkeh setelah dijemur?
Untuk soal-3 : Kita biasa menjumlah uang. Menjumlah umur, tentu tidak lazim!
Untuk soal-4 : Tidak memerhatikan aspek perunutan logika. Mestinya, cengkeh basah (bilangan berat masih besar) dijemur menjadi kering (bilangan berat lebih kecil) baru kemudian diketahui bilangan susutnya!
Soal bertipe nomor-3 dan -4 harus dihindari, karena tipe soal yang masih sering kita temui itu selain membosankan peserta ujian, juga amat tidak mendidik.
Nah, proses didik yang benar oleh guru akan membawa ke langkah akhir (evaluasi, ujian) yang benar; proses didik yang berlangkah awal dan kemudian berjalan dengan menyenangkan seyakinnya akan membawa ke langkah akhir yang menyenangkan pula. Ujian, oleh sang motivator, pasti dijadikan ajang unjuk kebolehan di mana para siswa (baca: inovator muda) akan menanti ujian sebagai saat yang amat dirindukannya dan mereka akan dengan bersemangat menyeru:"Ini lho, kebolehanku! Ini lho, tanggungjawabku! Ini lho, bukti bahwa nantinya aku bisa buat motor sehingga kekayaan negaraku ini tidak terus dirampok oleh Jepang, Korea, atau Cina!". Guru pasti mampu menghilangkan anggapan dalam diri para siswa bahwa ujian identik dengan sesuatu yang kaku dan menakutkan.
Dapatkah idealisme sebagaimana terpapar di atas terwujud melalui alat evaluasi yang bernama UN? UN yang lebih mementingkan kerja cepat komputer dari pada olah rasa, olah pikir, dan kerja keras bertahun-tahunparaguru itu?UN yang telah meluluhlantakkan proses pembelajaran ideal itu? (*** bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H