Mohon tunggu...
A. Ambar Hadipurnomo
A. Ambar Hadipurnomo Mohon Tunggu... -

Lahir di Pringsewu, Lampung.\r\nPernah menjadi fasilitator belajar siswa di SD BOPKRI Demangan-3 Yogyakarta, pernah terlibat program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat. Saat ini sedang bersekolah di PAUD Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Penyandang Cacat"

12 Juli 2011   18:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:43 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul yang benar : 'BUKAN PENYANDANG CACAT" Sejujurnya, tulisanku ini tidak dalam rangka membela diri terhadap perlakuan diskriminatif terhadap "kaumku". Sungguh, tidak!!! Aku hanya ingin berbagi rasa. Saya ngeri mendengar kata "penyandang cacat". Mengapa? Karena semua ciptaan Tuhan adalah baik. Di hadapanNya semuanya sempurna. Kata 'cacat' berkonotasi tidak baik. Pertanyaannya : "Siapa yang telah menyandangkan kata"cacat" pada ciptaanNya?" Kata "cacat " bukan Tuhan yang memberi. Dalam frase "penyandang cacat" terkandung perlakuan diskriminatif terhadap sekelompok ciptaan Tuhan yang memiliki kemampuan berbeda dengan kelompok ciptaan Tuhan yang lain. Marilah kita semua membuka jendela mata fisis dan batin kita, sehingga kita akan melihat perspektif baru : perspektif difabilitas. Kita akan memiliki cara pandang yang sama terhadap keberbedaan kemampuan para kaum insani. Difabilitas, suatu saat harus masuk menjadi lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebagai turunan kata "difabel". Yaahhh..., karena saat ini masih sulit untuk mencarinya dalam KBBI, untuk sementara (atau seterusnya) tak apalah kita mengadopsinya dari bahasa Inggris : "different-ability" - "different-able" dengan terjemahan bebas "berbeda kemampuan", kemudian menjadi "diffable" lalu kita nasionalisasi menjadi "difabel".

1310495084633150567
1310495084633150567
Kata "difabel" cukup enaklah di telinga. Cukup enak untuk menjadi lauk makan fisis dan batin kita sehari-hari. Bahkan kata tersebut sudah terbiasa digunakan oleh teman-teman penggiat persamaan hak (hak asasi). Tak ada sedikitpun kandungan perlakuan diskriminatif di dalamnya. Mengapa? Karena kita semua diciptakan Tuhan lengkap dengan keberbedaan, termasuk keberbedaan kemampuan. Insan berkemampuan fisik amat minim sekalipun (sampai-sampai keberlangsungan hidupnya tergantung total pada insan lain), telah Tuhan jadikan sebagai cermin dan pengasah hati nurani bahkan keimanan kita. Nah, "perspektif difabilitas" (cara pandang kita akan keberbedaan kemampuan ciptaanNya), akan menjauhkan kita dari sikap diskriminatif terhadap (bahkan lebih mencintai) ciptaan Tuhan. Sidang Pembaca, yuk, kita sambut kata "difabel" dalam hidup keseharian kita, dan kita buang kata "penyandang cacat" dari kamus hidup kita. Salam Difabel !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun