Kampung Budaya Jalawastu merupakan sebuah kampung adat atau dukuh yang berlokasi di Desa Cisereuh, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Kampung ini masih memegang teguh adatnya seperti tidak membuat rumah dengan semen dan bata, tidak menanam bawang, dan menjaga kelestarian budaya dengan tetap menjalankan tradisinya yakni Upacara Ngasa yang diadakan setiap tahunnya. Kampung ini juga sering disebut orang-orang "Baduynya Jawa Tengah" karena cukup mirip dengan Suku Baduy dan berada di Jawa Tengah. Selain karena beberapa budayanya yang mirip, bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kampung Budaya Jalawastu adalah Bahasa Sunda.Â
Walaupun mirip dengan Baduy dan memiliki banyak spot yang bagus, Kampung Budaya Jalawastu belum ramai didatangi oleh pengunjung. Sehingga saat kesana pun kita dapat bercengkrama dengan masyarakatnya yang ramah dengan lebih akrab. Jika ingin mengunjungi Kampung Budaya Jalawastu, disarankan datang pada bulan Maret karena mereka sedang mengadakan Upacara Ngasa. Kita bisa mempelajari lebih dekat dengan observasi langsung tentang upacaranya. Upacara ini diikuti bukan hanya oleh masyarakat Jalawastu tetapi diikuti oleh kampung-kampung lain di sekitar Jalawastu.
Asal-usul nama Jalawastu sendiri menurut warga setempat, memiliki beberapa versi. Versi pertama yang dipercaya warga adalah seseorang yang tidak diketahui namanya sedang mencari ikan sampai ke tanah Jalawastu. Saat itu Jalawastu masih belum menjadi kampung adat seperti saat ini dan juga belum memiliki nama. Pada tengah hari, ia pun beristirahat sambil menyantap nasi dan ikan bakar hasil tangkapannya. Ia duduk di dekat sebuah batu dengan jala di atas batunya.Â
Ia memandangi apa yang ada di hadapannya lalu berpikir bahwa betapa indahnya tanah yang sedang ia duduki ini dengan sungai-sungai di sekelilingnya karena sampai saat ini pun di Jalawastu memang terdapat banyak sungai dan curug walaupun akan mengering saat kemarau tiba. Akhirnya ia pun membangun rumah disana lalu berpikir kembali, apa nama yang pantas untuk tanah yang indah ini. Kemudian ia pun mendapatkan ilham, mengingat pada waktu itu ia menjemur jalanya di atas batu, ia pun menamai tanah tersebut dengan 'Jala Batu' yang akhirnya menjadi Jalawastu.
Versi kedua ini cukup panjang. Dahulu Jalawastu merupakan tempat kesucian. Konon, calon-calon raja biasanya bertapa di Jalawastu, tidak terkecuali Bengawan Sajalajala. Nah, kalian pasti tahu betul tentang Hayam Wuruk dan patinya bukan? Ya, Pati Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang sangat terkenal. Gajah Mada juga dikenal dengan sumpahnya, sumpah palapa yang dengan itu berarti Gajah Mada bersumpah dan bertekad ingin mempersatukan Nusantara dengan cara apapun yang halal.Â
Di sisi lain, Hayam Wuruk ingin mencari istri dengan cara apapun, asalkan halal. Menurut warga Kampung Budaya Jalawastu, Raja Galuh memiliki putri jelita yang bernama Ratu Ayudiah Pitaloka. Mendengar tentang putri tersebut, Hayam Wuruk pun segera meminangnya. Tentu saja Pitaloka menerimanya. Ia tahu bahwa Hayam Wuruk merupakan raja besar.Â
Zaman sekarang, keluarga mempelai laki-laki akan mendatangi keluarga perempuan. Namun tidak pada zaman dahulu. Sebaliknya, kuda-kuda dari Kerajaan Galuh pun bergegas berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Â Di satu sisi, Gajah Mada masih berniat untuk mengalahkan Raja Galuh dan memikirkan cara untuk mengalahkan Galuh yang tak terkalahkan itu.
Kerajaan Galuh dan rombongannya ditempatkan di kursi bawahan yang tidak terhormat. Tentu saja hal ini membuat perasaan pembesar-pembesar Kerajaan Galuh tersinggung. Mereka merasa tujuan mereka kemari untuk mengadakan pesta pernikahan, namun yang terjadi mereka malah ditempatkan di negara bawah dan terjajah yang harus membayar upeti. Akhirnya, terjadilah masalah.Â
Orang-orang tidak mau menyebut ini sebagai perang, tetapi menyebutnya sebagai peristiwa. Hal ini dimanfaatkan Gajah Mada sebagai perang. Karena kalah jumlah, Kerajaan Galuh pun dapat dikalahkan. Diah Pitaloka pun sangat amat sedih. Ia merasa tidak memiliki siapa pun dikarenakan ayah dan ibunya telah meninggal. Ia pun putus asa lalu bunuh diri. Mendengar hal ini Hayam Wuruk pun sangat marah kepada Gajah Mada.
Pangeran Wastukencana, adik dari Diah Pitaloka, saat ditinggalkan juga merasakan sedih yang teramat dalam. Apalagi ia ditinggalkan saat masih belia. Ia pun berencana membalas dengan mengembalikan kejayaan Kerajaan Galuh. Pangeran Wastukencana bertemu dengan Bengawan Sajalala dan bekerja sama lalu lahirlah nama Jalawastu yang merupakan gabungan dari nama Bengawan Sajalajala dan Pangeran Wastukencana.Â
Selain itu, peristiwa tersebut juga merupakan penyebab mengapa di Jawa Barat tidak ada satupun jalan yang menggunakan nama Gajah Mada. Warga Jawa Barat masih menyimpan rasa sakit di hati atas perbuatan yang telah dilakukan Gajah Mada tersebut kepada Kerajaan Galuh. Sedangkan menurut Profesor Undang dari Jawa Barat, Jalawastu artinya sumber air kehidupan.