Mohon tunggu...
Ambar Pratiwi
Ambar Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka film.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Penindasan pada Serial Drama "The Glory" dan Hubungannya dengan Psikologi Komunikasi Intrapersonal

30 Desember 2023   13:01 Diperbarui: 30 Desember 2023   13:05 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.koimoi.com 

Kasus penindasan yang terjadi di Korea Selatan sudah sangat marak dan memenuhi kanal berita internasional. Sistem pendidikan yang sangat kompetitif dan tekanan yang tinggi untuk mencapai kesuksesan akademik menjadi salah satu penyebab penindasan antarsesama siswa. Korban penindasan tidak jarang mengalami gangguan kecemasan, depresi, hilangnya rasa percaya diri, dan bahkan bunuh diri. Mereka yang telah menjadi korban penindasan cenderung menderita trauma akibat pengalaman tersebut, dan dapat mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial dan percaya pada orang lain di masa depan. Saking banyaknya kasus penindasan atau perundungan, drama-drama Korea banyak mengangkat tentang hal serupa, termasuk drama Korea yang mendapatkan rating tinggi, yaitu The Glory, yang diketahui diperankan oleh aktor dan aktris ternama, salah satunya Song Hye Kyo.

Di Korea Selatan sendiri, pelaku-pelaku penindasan dapat lolos tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal. Kasus ini sering menjadi perbincangan hangat di negari gingseng tersebut dan menjadi perhatian Internasional. Apalagi setelah adanya korban yang speak up tentang trauma masa lalunya setelah 12 tahun penuh ditindas oleh rekan-rekan satu sekolahnya yang pada bulan Maret 2023 menjadi perbincangan hangat pengguna internet, bahkan sampai saat ini.

Pyo Yerim, seorang gadis kelahiran 1996 yang tumbuh besar di Kabupaten Uiryeong, Korea Selatan, dianggap "The Glory versi nyata" karena mengunggah sebuah video yang menyatakan dirinya adalah korban penindasan di sekolahnya mulai masa SD hingga SMA. Tidak lama setelah diunggahnya video tersebut, sebuah stasiun televisi melirik kasusnya dan mengangkatnya ke sebuah program  TV yang merupakan penelusur dari kisah nyata, di mana program TV tersebut ingin membuktikan kerealitasan dari sebuah cerita yang ramai di sosial media.

Dalam kasus yang diangkat ke program televisi pada 2 Maret 2023 tersebut, dapat diambil 3 point: Pertama, Pyo Yerim ditindas selama 12  tahun secara fisik dan juga mental. Sepatu Yerim juga pernah dimasukkan paku payung sehingga kakinya tertusuk dan terluka karena paku tersebut. Namun, kejadian ini menjadi hal yang paling ditoleransi Yerim karena ia tidak dipermalukan di depan teman-teman yang lain. Yerim selalu khawatir untuk pergi ke sekolah karena terpikirkan apa yang akan ia dapatkan saat di sekolah; Kedua, Yerim mengonsumsi obat dari psikiater dan berharap dapat melanjutkan hidup. Namun Yerim menyadari pelaku-pelaku yang dulu menindasnya, saat ini hidup dengan tenang dan tanpa rasa bersalah, bahkan ada yang menjadi seorang PNS; Ketiga, kedua orang tua Pyo Yerim tidak mengetahui keadaan Yerim ketika Yerim ditindas.

Walau sudah mendapatkan perhatian sampai-sampai program TV mengangkat kasusnya dan dibantu cross check pelaku-pelaku yang menindas, kasus ini mulai turun dan jarang dibahas oleh pengguna internet. Kemudian pada 10 Oktober 2023, Yerim yang menerima tekanan dari satu pihak yang sempat ia percaya, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Dalam pandangan psikologi komunikasi, tepatnya pada Komunikasi Intrapribadi, terdapat adanya self-esteem, yang mana merupakan harga diri dan bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Pada kasus ini, Yerim merasa kehilangan atas harga dirinya sebagai manusia karena banyaknya tekanan serta kekecewaannya menjadi korban penindasan selama 12 tahun. Kurangnya rasa dihargai ini juga membuatnya tidak berdaya dalam menjalani hidup dan tertekan menjalani kehidupan sosialnya. Adapun terjadinya proses learning oleh Pyo Yerim setelah ia menyadari bahwa pelaku penindasnya menjalani kehidupan normal, tidak seperti dirinya yang harus mengonsumsi obat-obatan dari psikiater. Proses ini dibagi menjadi 3, yaitu:

  • Goal, goal sendiri sebagai "driver" dari sistem output, menyalurkan sumber daya psikologis dalam kognitif karena turut membentuk bagaimana dan apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita lakukan serta bagaimana kita melakukannya. Dalam kasus ini, Yerim memiliki goal untuk membuat masyarakat membuka mata dalam kasus bully yang terjadi, dan pelaku-pelaku merasakan hal yang Yerim rasakan.
  • Plans, atau perencanaan. Melibatkan perumusan perilaku untuk mencapai tujuan dan memerlukan subproses yang berbeda. Di mana Yerim merencanakan untuk mempublikasikan pernyataan dirinya menjadi korban penindasan selama 12 tahun ke media sosial.
  • Action, di mana ini menjadi aksi untuk mencapai goal yang telah ditentukan. Pyo Yerim mempublikasikan video pernyataan dirinya dan Yerim pun bersedia melakukan proses-proses hukum dan sosial supaya dirinya mendapatkan keadilan.

Dalam diri Pyo Yerim, terjadi adanya komunikasi intrapersonal di mana Yerim menguatkan dirinya untuk bertahan dalam kehidupannya setelah atau saat menjadi korban penindasan. Kemudian ketika dirinya menyadari bahwa pelaku penindasnya memiliki kehidupan yang normal dan bahkan lebih baik dari dirinya, Yerim juga melakukan komunikasi intrapersonal dari mempertanyakan apa yang dapat ia lakukan supaya  pelaku-pelaku yang pernah merundungnya mendapatkan  balasan, hal ini juga membentuk adanya motivasi intrinsik yang juga didukung oleh faktor expectancy, yang mana Yerim sendiri berharap supaya pelaku mendapatkan perlakuan setimpal lewat dukungan netizen dan media.

Penindasan tentunya bukan hal yang dapat diselesaikan dengan kata maaf. Sayangnya, terkadang hukum tidak terlalu tegas sehingga pelaku-pelaku dapat dengan mudah melewati proses hukumnya tanpa merasakan balasan yang setimpal. Kasus-kasus seperti ini harus lebih diperhatikan lagi dan menjadi awarenesss bagi para pemerintah, tenaga pendidik, orang tua, serta siswa dan siswi guna menghindari terjadinya hal serupa. Terlebih, perilaku perundungan atau penindasan seperti ini dapat menyebabkan trauma pasca kejadian serta gangguan psikologis lain bagi para korbannya.

Sumber berita:

https://youtu.be/tRYPdDMI9xY?si=BkztXkINARjfgUY3

https://youtu.be/x25L1nWrVEU?si=wklFLXMphLisdLhn

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun