“Rumah adalah semesta kecil bagi semua orang. Ia menjadikan kita hadir di dunia. Belajar tentang hidup, menghadapi hidup dan menciptakan semesta kecil lainnya.” (quote by Shita Rahutomo)
Rumah ternyaman bukanlah rumah yang indah dalam penampakan, angkuh dalam penglihatan, yang membuat orang berkecil hati memasukinya. Tapi rumah adalah tempat ternyaman untuk kita rasakan. Rumah adalah tempat di mana kita bisa jujur menjadi diri sendiri. Tak perlu polesan dan pencitraan yang melelahkan. Seluruh penghuninya, siap menerima dirimu apa adanya, tak masalah apapun pendapat orang tentang diri kita.
Di rumah, kita bisa memakai daster lusuh ternyaman yang kita punya dengan rambut berantakan dikaret kucir kuda. Atau kaus belel yang terasa makin nyaman di kulit dan memeluk tubuh tanpa perlu dipandang risih atau diprotes oleh penghuni rumah lainnya. Rumah adalah symbol kejujuran paling mendasar dalam sebuah hubungan.
Kita bisa marah pada salah satu penghuninya tanpa tertekan karena suatu sebab, tapi kita bisa pula begitu cepat memaafkan “sang pembuat onar, pengobrak-abrik kenyamanan hati dan badan”. Tapi rumah adalah juga tempat segala pemaafan dan penerimaan. Kita bahkan bisa menghadiahkan “pada pembuat onar itu” sebuah ciuman paling tulus sedetik kemudian. Atau menghadiahinya sebuah pelukan hangat sebagai penanda tak adanya lagi kemarahan dan sebuah ungkapan rasa sayang dan peduli antar penghuni rumah yang tak mengharap imbalan.
Home sweet home itu nyata adanya. Baitii jannati, itu benar adanya. Tanpa perlu riset, semua orang akan mengamininya.
Saya ingat di masa SMP, seorang teman mengajak menginap di rumahnya sepulang sebuah acara yang berakhir petang di sekolah. Kebetulan besok libur, kami ingin pesta pajama para gadis. Saat itu handphone belum ada. Dan ia tak memiliki telepon rumah, begitupun saya. Maka saya titip pesan pada kakak yang kebetulan satu sekolah untuk menyampaikan pada orang tua, kalau saya menginap di rumah seorang teman. Kakak lelaki saya mengangguk. Maka melengganglah saya tanpa beban. Keesokan harinya, saya pulang. Rumah sepi. Tak ada penghuni. Berjam-jam menunggu akhirnya Bapak dan Ibku pulang dengan wajah lusuh kelelahan .
Tanpa menyapa Ibuk membuka pintu rumah mengabaikan saya dan Bapak membawa saya ke kamar. Seribu pertanyaan berkecamuk di dada. Atmosfer yang aneh. Tiba-tiba satu lecutan penggaris yang sangat keras hinggap di paha meninggalkan bilur merah yang panas dan pedas. Dengan tatapan protes, penuh marah saya menuntut penjelasan dari Bapak kenapa saya harus dilecut?
Kami ayah dan anak, bahasa kalbu menjadi sebuah komunikasi tanpa suara. Bapak memandang saya lekat-lekat. Lalu memeluk saya eraaaaat sekali. Dengan suara lirih bergetar, menahan tangis untuk tak keluar demi mempertahankan eksistensinya sebagai laki-laki tegar di depan anaknya, Bapak berkata, “Maaf jika Bapak melecutmu. Hati Bapak sebenarnya sakit melakukannya, tapi Bapak ingin kamu belajar hari ini, jika ingin melakukan sesuatu, berpikirlah yang panjang jangan membuat siapapun mendapat kesulitan . Karena Bapak sayaang padamu.”
Suara bergetar itu mengambrolkan pertahanan saya yang rapuh dan menangis tersedu-sedu. Dipeluknya saya dengan lebih erat dan mencium saya penuh sayang. Menenangkan agar saya tak lagi menangis. Ya, seketika itu kemarahan hilang dan segala rasa pemaafan tercipta. Bapak pasti melakukannya untuk kebaikanku.
Dari Ibuk akhirnya saya tahu kalau Kakak saya juga menginap di rumah temannya malam itu dan lupa menyampaikan pesan kalau saya juga ijin tak pulang. Pesuruh teman Kakak ke rumah mengabarkan Kakak menginap di rumah teman. Tapi tak ada penjelasan tentang saya. Begitu maghrib tak juga pulang, Bapak memutari seluruh tempat yang biasa saya kunjungi untuk mencari keberadaan saya hingga berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Bahkan sampai kota kabupaten tetangga dengan motornya, padahal Bapak bukan lelaki muda. Dari satu kantor polisi ke kantor polisi lainnya, dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, karena khawatir saya menjadi korban kecelakaan. Perasaan merasa bersalah pada Bapak menggunung begitu Ibuk selesai bercerita. Bapak adalah pelindung keluarga, pahlawan anak perempuannya, Bapak selalu berusaha melakukan kewajibannya secara maksimal. Proud of you Bapak.
Bahkan ketika kami masih kecil-kecil, Ibuk sakit dan tak bisa menyediakan makanan buat kami, sementara pasar jauh dan hujan sangat lebat, Bapak turun tangan. Di lemari makan hanya ada sayur dan tempe. Dengan cekatan, Bapak yang memiliki 5 adik itu membuat urapan, menanak nasi dan menggoreng tempe. Bertiga dengan adik kami makan dengan sangat lahap. “Ga nyangka ya,..urap bisa seenak ini,” kata adek saya. Dan diam-diam kulihat Bapak menyusut air bening yang diam-diam menitik di sudut mata. Lelaki yang keras dalam penampakan itu, memiliki hati yang sangat lembut.