Setiap aku menyelusuri lorong-lorong kota padat berisik dan tak pernah mati ini, kutemukan banyak nyeri yang tercipta dari ketidakpedulian penghuni di dalamnya. Kereta melintas, kutemukan tumpukan sampah yang telah terpilah-pilah, untuk menghidupi begitu banyak nyawa di sepanjang selasar pemberhentian dari stasiun kota hingga Bogor. Juga bocah-bocah kecil yang terpaksa berjualan di dalam gerbong atau harus mengikuti ayahnya mengamen. Mereka bekerja untuk menghidupi keluarganya. Di kereta commuter line aku mendapati begitu banyak lelaki muda yang tiba-tiba merasa terserang encok, terutama saat tiba para ibu hamil, anak-anak kecil dalam gendongan ibunya atau para pinisepuh yang berdiri berdesakan di depan mata mereka yang sedang nyaman mendapat kursi. Mereka yang seharusnya lebih berhak untuk duduk, diacuhkan begitu saja. Nurani...ia lari ta terkejar lagi. Kadang ingin kudorong para lelaki tak tahu diri yang begitu menikmati kursinya sementara tepat di depannya bocah-bocah mungil merengek lelah berdiri. Mata mereka pura-pura terpejam hingga tujuan. Saat dengan hati-hati kuminta kerelaan hati untuk berganti posisi dengan para bocah balita itu mereka bergeming. Adakah hati yang masih mendengar nurani? Ini memang hanya masalah kecil, bukan kasus korupsi trilunan rupiah atau pembunuhan sadis para bocah korban sodomi, tapi tetap saja terasa nyeri dan menjengkelkan. Di mana nurani? Bangsa apa ini, yang manusianya tak lagi mengindahkan tata krama padahal mereka mengaku sebagai orang yang beriman? Gadis kecil 3 tahun itu kembali merengek. Ia lelah berdiri. Si Bapak 40 tahun itu pura-pura tak mendengar. Aku tak tahan. Apa ia tak punya ank di rumah? Pelan kudekati dan kucolek bahunya. “Pak,bolehkah kursinya dipinjam si adek? Ia cape.” Ia terlihat marah padaku. Sok ikut campur! Ya, aku memang bukan emak gadis kecil itu yang takkan berani meminta. Tapi semua orang harus belajar mana yang patut diprioritaskan dan yang tidak. Aku ulang 3 kali. Bapak-bapak yang lain yang sejajar dengannya lebih tak peduli dan muka mereka sangar sekali. Tak ada satupun yang beringsut. Teganyaaaa…. Aku pandangi ia terus menerus dengan tatapan tajam. Akhirnya beringsut sedikit, “Duduk saja di sini.” Si gadis cilik menggeleng. Tentu sebagai manusia pintar ia tahu, anak kecil takkan nyaman duduk sebelah orang asing tanpa ibunya. Aku marah sekali dalam hati. Aha… ada anak muda yang lebih muda dariku. Dengan lebih tegas aku bicara, “Dia lebih butuh kursi ini daripada adek. Bolehkah si anak kecil itu yang pakai?” Mungkin merasa kalah tua, ia mengalah walau kutahu pasti dengan berat hati. Si gadis tersenyum cerah, ia tarik tangan ibunya untuk duduk. Terima kasih ya! Kataku pada pemuda yang sedikit cemberut karena kuusir. Aku marah, aku benci, ingin kutinju mereka yang acuh, tak peduli. Berhentilah jadi manusia jika membutakan hati. Tapi semua takkan berarti jika hanya satu orang yang memulai. Bisakah kita, kembali peduli jika melihat peristiwa yang sama terjadi? Mengingatkan untuk mengalah pada yang lebih membutuhkan. Maukah kita bersama kembali peduli tentang sopan santun dan norma susila? Bahwa bangsa ini masih bangsa besar yang menghargai nilai kepatutan. Kita harus berperan untuk kembali peduli pada norma yang harusnya berlaku di negeri ini? Ayolah… kuyakin kita bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H