“Pacarnya mana? Kok tidak dibawa?” (tas kalii..dibawa-bawa)
“Kapan menikah, kan sudah cukup umur..?” (husnudzonnya, mungkin dia punya calon high quality jomblo yang akan dikenalkan padamu).
“Kapan punya anak? “ (Untuk pasangan yang masih “anget-angetnya" tapi belum membuahkan hasil)
“Kan anaknya baru tiga, laki semua , apa ga ingin punya anak perempuan? (buat yang ingin tahu prospek membuat tim sepak bola)
Beberapa saat menjelang lebaran, sudah berseliweran berbagai konten tentang bagaimana cara bersikap saat menghadapi “disturbing questions” alias pertanyaan yang mengusik kenyamanan pribadi karena terkesan intervensi pada wilayah privacy orang yang ditanya.
Dalam hal ini obyek penderitaan biasanya adalah para jomblo. Apalagi kalau perempuan? Disturbing Questions seperti “Apakah sudah punya calon suami?” saat seorang perempuan di usia duapuluhlimaan plus pertanyaan seperti ini akan sering didengar.
Ya..karena negara Indonesia adalah negara kepo-lauan dan marry-time. Jadi pertanyaan kapan menikah adalah paket pertanyaan wajib akan dilontarkan dari orang-orang yang lebih tua. Terutama saudara dan teman orang tua yang anaknya sepantaran dengan yang ditanya.
Kalau yang bertanya satu orang saja mungkin akan termaafkan. Beda cerita jika yang bertanya banyak orang dari waktu ke waktu tentu menjadi pertanyaan yang sangat menyebalkan hingga bisa merusak mood yang ditanya, padahal waktunya lebaran bersenang-senang dan mengikat silaturahmi.
Ok kita sudah berempati pada para korban, dan mengerti betapa tak nyamannya menerima pertanyaan yang sama terus menerus.
Kalau cuma jomblo dalam proses pencarian pasangan sih mungkin hanya beberapa tahun saja pertanyaan ini menimpanya, tapi kalau yang sudah memutuskan menjomblo sebagai the way of life dengan berbagai pertimbangan, tentu tak enak jika tiap tahun mendapat pertanyaan yang sama saat Lebaran tiba.