Buka bersama alias bukber menjadi salah satu tradisi selama bulan Ramadan yang menjadi momen tepat untuk berkumpul sejenak dengan orang-orang yang pernah dan masih berarti dalam hati kita. Bukber seperti pemanansan menjelang lebaran dimana kita berusaha untuk melaksanakan silaturahmi. Jika Lebaran memprioritaskan kumpul bersama keluarga besar dan handai taulan kalau bukber memiliki spektrum yang lebih luas dan berjenjang terkait relasi sosial yang berdasar hirarkis, historis, bisnis, atau gabungan ketiganya. Sempay viral di sosmed, seorang e,ak-emak curhat depan anaknya yang punya banyak sekali kegiatan bukber, "Tiap hari kok klayapan wae. Ga pernah di rumah. Minggu lalu bukber sama teman SD, kemarin bukber dengan teman SMP, hari ini teman SMA, besok teman kuliah....di rumahnya kapan?" Sejatinya begitulah ibu-ibu, kalau anaknya tiap hari sok sibuk yang tak produktif tapi nggaya serasa orang penting, safari bukber bikin emaknya kangen sosok anaknya yang dulu menjadikan ibu adalah dunianya.
Di cerita lain, di sosmed beredar beberapa kisah pilu tentang janjian bukber, lalu ditunjuklah sang koordinator, yang sudah menerima ikhlash mencuri waktu di antara kesibukannya buat dapat reservasi tempat bukber beserta pesanan menu makanannya, tapi di hari H tak ada satupun yang datang. Si korban memandang tak berdaya pada makanan-makanan yang membeku tanpa tuan. Siapapun tahu betapa berkecamuknya perasaan sang korban. Iya, saya menyebutnya korban. Mungkin dia secara sengaja memang "dikorbankan" teman-temannya sebagai bahan prank, atau ada konspirasi terselubung di antara lingkaran pertemanannya untuk menyakitinya secara tak langsung, atau dia hanya korban dari tiadanya komitmen, tanggung jawab dan niat baik secara kolektif yang menandakan bahwa sejatinya lingkaran pertemanannya orang-orang toksik. Maka para korban, larilah yang jauh dari orang-orang tak peka yang membuatmu terluka tanpa merasa bersalah itu.
Dengan ilustrasi di atas aku berharap kita bisa menangkap esensi bukber yang sejati bukan pada enak dan mahalnya makanan, bukan pada bergengsi dan instagrammablenya tempat makan, tapi pada terciptanya kebersamaan dan kesatupaduan rasam bahwa aku dan kamu masih memiliki hal-hal berharga (kebersamaan, soliditas, persaudaraan, kenangan yang indah, kerjasama) yang patut kita pelihara bersama. Maka budget dan tempat bukanlah sebuah barometer kesuksesan sebuah acara bukber. Ketika masing-masing bertemu, saling menyapa, bertanya kabar, lalu perasaan akram hangat dan senang masih mendominasi selama berinteraksi dan masing-masing pihak tahu diri untuk sementara meminimalkan eksposure penggunaan handphone selama acara berlangsung maka itulah sebagian indikator keberhasilan suatu acara bukber.
Kita bisa lo bukber dengan budget minimalis tapi hasilnya maksimal. Contoh, bukber dilaksankan di rumah salah satu anggota dengan memesan makanan dari warga sekitar atau mungkin yang punya rumah mendapat dana dari iuran bersama lalu uang tersebut akan direalisasikan si tuan rumah sebagai hidangan bukber. Misalnya dengan botram ngaliwet dengan menu sunda. Nasi liwet dengan lauk ayam goreng lengkuas, tempe dan tahu goreng, ikan asin, ikan peda, sambal dan lalapan...hmm nikmatnya.... Wah ini mah budget hemat tapi damagenya luar biasa. Jauh lebih hemat tapi berkali-kali lebih nikmat dibanding makan di restoran. Karena kita sebagian besar masih mikir ya...kalau habis makan terus bayar ke ksirnya mahal..makanan yang sudah di perut kadang jadi bergejolak hehehe...
Nah aku pernah nih botram begini waktu masih kerja di Bandung. Ngariung gitu. Dengan menu sederhanan tapi karena dieksekusi oleh orang yang skillfull (yakinlah, sebagian besar ibu-ibu kita itu rata-rata juara skill masaknya cuma mereka tak ekspose aja. Kadang lihatnya cuma sat set bat bet gitu tapi karena pengalaman puluhan tahun hasil masakannya haduuh enak banget. Mana kadang masih lebih-lebih makanannya atau sengaja dibuat berlebih sehingga sebagian bisa dibawa pulang gimana hati ga senang?
Jadi....bukber itu baiknya lebih kita maknai sebagai moment berharga untuk memelihara silaturahmi. Ingatlah pepatah china, panjangkan pertemanan maka panjang umur dan panjang rejekilah hasilnya. Jangan pernah meremehkan teman atau siapapun dalam lingkaran sosial kita, karena bumi itu bulat dan berputar, kita tak pernah tahu siapa akan menjadi apa. Mungkin saat ini kamu yang berhasil dan temanmu yang susah nanti bisa terbalik kondisinya. Atau mungkin saat ini kamu masih berjuang dan temanmu sudah gemilang, bersabarlah dan tetap berusaha menuju titik terbaikmu. Atau mungkin saat ini ada yang sedang benci banget pada seseorang tapi kita tak pernah tahu mungkin di masa depan orang yang kita benci dan rendahkan itulah yang membantu atau menyelamatkan hidupmu. Maka seperti AA Gym bilang, jagalah hati jangan kau kotori, jagalah lisan jangan untuk melontarkan kata-kata yang menyakitkan.
Nah..siap bukber hemat tapi nikmat di hati, di perut dan di kantong?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H