Ada satu hal yang selalu menjadi tradisi di keluarga kami menjelang Hari raya Idul Adha. Kami akan udunan untuk membeli sapi muda lalu sapi itu dipelihara oleh petani di desanya, setahun kemudian jika sudah membesar, ditetapkan sebagai hewan kurban keluarga. Jadi kami tak ikut-ikutan bingung dengan melonjaknya harga sapi menjelang Idul Adha.
Harga sapi juga dipastikan melonjak tajam saat Ramadhan dan mnjelang Lebaran, harga daging sapi meroket tajam karena pasar sedang membutuhkan pasokan daging sapi dalam jumlah besar. Apalagi jika dibuat rending, buat orang Padang pantang masak dengan kualitas daging yang setengah-setengah. Harus segar, bagian has dalam yang tanpa lemak, agar tercampur sempurna dengan bumbu-bumbu yang telah disediakan.
Sebenarnya ada acara jitu untuk menanggulangi meroketnya harga daging di pasar yaitu dengan cara mendidik masyarakat agar tidak terlalu focus padakonsumsi daging sapi. Penganekaragaman jenis makanan itu penting agar kita tak terdoktrin oleh kekuatan pasar yang bisa saja memanfaatkan keluguan para konsumen. Kita harus melakukan diversifikasi lauk pauk. Kita usahakan agar lebaran tak harus identic dengan rending, tapi juga bisa kita ganti dengan soto kerbau, atau opor ayam, atau gulai ikan, sama enaknya, sama bergizinya.
Dulu saat kecil, saya masih melihat banyak petani yang memiliki beberapa ekor sapi di rumahnya. Dibuatkan kandang di samping rumah, bahkan beberapa di antaranya menempatkan sapinya di dalam rumah ketika marak kasus pencurian sapi. Buat petani pada masa itu, sapi adalah asset, tabungan mereka. Ketika masa panen, berbagai dedaunan dari sawah seperti ron (daun dan tanaman kacang tanah) digulung dan dibawa ke rumah sebagai simpanan makanan sapi hingga berhari-hari kemudian karena sapi masih mau makan ron hingga beberapa hari kemudian. Sapi juga adalah property untuk membajak di sawah. Pulangnya, dijadikan alat angkut yang disebut setrek, kereta berukuran lebih besar dari delman, digunakan untuk mengangkut hasil panen saat itu. Saya sering mencuri-curi naik strek dari belakang, karena kadang pemiliknya tak ingin ada anak-anak rusuh menaiki streknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H