Bekerjanya dengan metode merangkul. Tidak memukul, begitulah ARB terpotret. Kepemimpinannya dinilai punya ciri khas, ia melahirkan banyak perubahan, kemajuan untuk DKI Jakarta. ARB dinilai memiliki dukungan dari kelompok politik Islam.
Dari posisi tersebut, tidak sedikit kelompok politik nasionalis memusuhinya. Padahal, ARB sendiri terlahir dari akademisi. Pikirannya inklusif. Ada sebagian kawan dekatnya menyebut ARB sebagai intelektual liberal. Ketika diringkas, ARB tidak tepat dikategorikan sebagai politisi yang menghidupkan atau menjadi biang dari praktek politik identitas.
Bila ARB mendapat simpati dari tokoh-tokoh agama Islam, itu hal lumrah. Bisa jadi, karena kebijakan-kebijakan yang diambil ARB dinilai pro dan menunjang kegiatanh-kegiatan keagamaan Islam. Itupun tidak perlu kita marah-marah menanggapinya. Demokrasi kita tak melarang itu. Yang dilarang itu adalah menyebar kebencian. Memicu perang dan konflik sosial. Merusak kerukunan, menghidupkan intoleransi.
Tidak mungkin ARB mau menjadi korban. Lantas ia tampil menjadi mesin pembakar, memprovokasi umat beragama dan menjatuhkan lawan politiknya demi meraih suara elektoral dalam Pemilu 2024. Kecuali akal sehatnya sudah hilang. Atau kecuali, ARB telah dirasuki setan.
Alternatif pertama, yakni posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Keunggulan AHY yaitu dirinya memiliki kendaraan, mesin partai politik. AHY Ketum DPP Partai Demokrat. Tidak sedikit kader Partai Demokrat yang menjadi Anggota DPR RI, hingga DPRD. Ada kader, simpatisan yang banyak. Belum lagi kekuatan struktur partai, ditambah kekuatan SBY yang notabenenya ayah dari AHY.
Siapa yang meragukan kemampuan SBY dalam politik?. Sang Presiden RI 2 periode itu dikenal memiliki keahlian, mahfum dalam menerapkan strategi. Dari sisi lainnya, logistik SBY sudah tentu masih ada. Tentu SBY tidak tinggal diam. Apalagi politisi senior itu telah mengatakan sikap siap turun gunung untuk memenangkan Pilpres dan Pemilu 2024.
Pemilih kita harus diedukasi agar mereka menghargai sistem politik. Hentikan polarisasi politik, yang berkonsekuensi sampai pada polarisasi agama. Seperti inilah cara kita mendorong transformasi demokrasi. Menjadi starting point dalam membenahi kerusakan pilar-pilar politik. ARB jika mau menang paketnya AHY atau KIP.
Kelihaian dan ketelitian membaca tanda-tanda kemenangan politik memang perlu dimiliki politisi. ARB mesti mempunyai kekuatan itu. Jika salah menentukan skema koalisi, sudah pasti ARB menelan kekalahan. Pilpres 2024 diharapkan melahirkan iklim demokrasi yang kondusif dan produktif. Motivasi berkompetisi dalam Pemilu dan Pilpres tidak sekedar menang. Lantas mengabaikan sisi edukasi, moralitas, serta integritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H