Jangan dikesampingkan. Bukan pula dikonfrontasikan antara politik dan adab. Bahkan, untuk membuat distingsi saja tidak tepat rasanya. Karena itu satu paket lengkap. Politik dan adab bagai satu mata koin. Yang satu sisi, dengan sisi seblahnya saling melengkapi.
Percuma para politisi hebat, akademisi yang katanya mahfum teori-teori politik, tapi miskin adab. Mereka yang menempatkan dirinya di atas, memahami politik, lantas mengabaikan adab. Yang didapat hanyalah bencana.
Selain ketimpangan. Akan ditemukan pula resiko-resiko dari sikap tak beradab tersebut. Sebab, sebut saja politisi tanpa ada tidak mau tertib dan patuh pada etika sosial atau etika publik. Membuat dirinya liberal. Semua orang diukur dengan pikirannya sendiri.
Ketika memiliki keinginan menggenggam kekuasaan. Semua cara ditempuhnya. Adab tidak dijadikan barometer. Dalam pikirannya yaitu mendapatkan apa yang ia mau. Meraih nafsu politik. Tanpa mau membuang waktu memikirkan adab.
Modernitas membuat norma dan adab terhempas. Pranata sosial tidak lagi dijadikan patokan. Menjadi relatif dan subyektif di hadapannya. Kondisi kemodernan atau modernitas menunjang, menguatkan pandangan mengabaikan nilai-nilai adab tersebut. Rakyat dituntun ke sana. Dan ruang virtual "digital", menjadi instrumennya.
Kebiasaan rakyat terintegrasi dan diakselerasi menuju ke kamar atau panggung yang namanya politik tanpa adab. Politik diorkestrasi sebagai nyanyian, tontonan bebas nilai. Begitu menyedihkan, dan yang paling pokok berhasil membuat rakyat malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H