BURSA Capres Republik Indonesia (RI), juga Cawapres begitu ramai. Satu persatu nama publik figur, tokoh nasional mencuat. Media massa dan media sosial tentu punya peran signifikan mengorbitkan mereka. Para Capres, Cawapres dikenal publik karena media (perantara).
Rakyat mulai mendapat tambahan pengetahuan soal model, karakter dan kualifikasi Capres, Cawapres. Ada yang diidentikkan dengan Capres nasionalis, religius, kader parpol dan bukan. Sipil, militer, birokrat, politisi, dan pengusaha. Sebagiannya telah memiliki rekam jejak memimpin rakyat. Yang lainnya belum.
Semisal Kepala Daerah yang mencuat sebagai bakal Capres, Cawapres. Ada yang terlahir dari internal partai politik, pekerja partai, akademisi. Dan ragam kemunculan Capres dan Cawapres lainnya. Latar belakang tersebut tentu memberi sumbangsih tersendiri bagi mereka. Tentu untuk memperkuat posisi masing-masing pihak dalam panggung politik.
Masuk ke ranah yang paling penting untuk dibahas. Personifikasi kepada beberapa tokoh politik terbaca, disampaikan dan diketahui rakyat umumnya dari media massa. Berapa pentingnya peran media massa (termasuk medsos). Framing media massa sangatlah berpengaruh. Naik turunnya popularitas dan elektabilitas relatif bergantung pada media massa.
Dengan alat ukur lain adalah Lembaga Survei, Polling dan pemberitaan media. Pembingkaian (framing) seperti ini tidak boleh diabaikan. Dampaknya meluas dan juga efektif. Silahkan diperiksa, nama Prabowo, Ganjar, Anies, Airlangga, AHY, Cak Imin, Erick Thohir, Puan Maharani, dan lainnya. Sederet nama di atas begitu intensif menghiasi media massa. Wajarlah mereka terkenal.
Selain itu, fariabel yang menguatkan ketokohan seseorang, kecintaan rakyat terhadapnya. Juga disubsidi dari hasil racikan drama politik. Yang dimaksud drama politik yaitu perilaku mencari sensasi. Agar media massa terus memotret, memuat, atau memberitakan figur tertentu.
Di Indonesia, praktek politik yang dimulai dengan drama selalu saja kita jumpai. Tak ada drama dan tipu-tipu sepertinya tidak lengkap dalam percaturan politik di tanah air. Perang retorika politik, saling lempar satire hingga fitnah keji dilontarkan. Bahkan bukan hanya politisi, tapi juga boneka bentukan politisi. Boneka dalam bentuk pembela, penghasut, dan yang menyerang. Ada kubu buzzeRP vs pendukung tokoh yang ketertarikannya karena hal simbolik.
Naskah demi naskah drama dibaca, lalu dijalankan secara apik. Aktor politik begitu lihai memainkannya. Namun sayang seribu sayang, sebagian besar rakyat kita telah mengetahui trik ini. Rakyat sudah pintar, jangan dibodohi terus. Isu politik dikemas, membangun opini publik dengan cara seolah-olah terdzolimi juga sudah diketahui rakyat.
Bahwa semua itu bualan, dan hanya bertujuan mencari simpati rakyat. Sukar dirajut kebersamaan politik yang bertahan dalam waktu lama. Siklusnya, paling mentereng lima tahun. Itupun penuh gontok-gontokan. Bukan karena saking dinamisnya kita berdemokrasi, malainkan adanya mentalitas monopoli, rakus, dan senang menggunting dalam lipatan dari sesama politisi.
Ketahuilah, drama politik sering ditularkan atau dibangun dalam bentuk cara pandang. Berlabel ideologisasi, maupun paradigma berpikir otentik. Nyatanya malah yang didapat hanyalah politik pembelahan. Di internal partai politik saja, para politisi itu bertikai rebut posisi. Mencari kedekatan dengan Ketua Umum Partai, lantas merendahkan harga diri politisi lainnya.
Ketahuilah, sampai Indonesia bubar sekalipun jika watak politisi masih dibentuk media massa, maka peradaban politik kita tidak akan pernah maju. Sebab, idealisme media massa di Indonesia saat ini belum bisa kita harapkan memberi solusi kemajuan Indonesia. Media masih dikuasai interaksi industrialisasi media. Orientasi profit selalu menjadi mindset utamanya. Ini yang bahaya, sehingga etika moral dan kemajuan bersama tidak mendapat tempat yang layak.