politik kita di tanah air dipenuhi warna-warni. Tidak homogen, melainkan heterogen. Kombinasi dari etika politik dan perilaku ''kanibal'', binatang yang dipadukan. Buktinya, ada politisi berperilaku layaknya binatang.
PANGGUNGMerampas, membabat, mengambil sesuatu yang bukan haknya. Perilaku korupsi itulah cermin dari sikap kebinatangan politisi. Di Indonesia, cukup banyak. Tentu ada pula politisi yang menerapkan nilai-nilai etika politik.
Mereka mengerti tentang baik dan buruk. Lalu, benar dan salah. Tapi tidak semua yang melaksanakannya. Sikap rakus yang membuat politisi (Anggota DPR dan pimpinan Eksekutif) dipenjara. Ada pula pandangan buruk yang dipelihara. Dimana mereka para pencuri atau yang diperhalus dengan istilah koruptor itu bangga saat tampil di media massa.
Mindset dan nalar sehat publik seperti dibalik. Ulah politisi pencuri, penjahat inilah yang membuat lahirnya distrust terhadap politisi lainnya. Mirisnya, perilaku memalukan (pencuri uang rakyat) masih ditorerir partai politik.
Kondisi lapangan membeberkan itu. Bahwa tidak sedikit para politisi yang divonis bersalah. Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Lembaga penegak hukum lainnya, tapi setelah dibebaskan malah diberi lagi kesempatan mencalonkan diri.
Baik sebagai calon Kepala Daerah dan Calon Anggota Legislatif (Caleg). Semestinya, demi pendidikan politik, mereka yang telah bermasalah hukum tidak lagi diakomodir, dimajukan sebagai calon pemimpin publik. Jika mau dilibatkan, cukup saja sebagai pemikir (konseptor).
Biarkan mereka berkontribusi dibalik layar. Hal itu dimaksudkan agar meminimalisir dan menjegal anggapan, serangan publik kepada partai politik tertentu. Bagaimanapun rakyat sudah sangat waras berpolitik. Jangan sampai karena nila setitik merusak susu sebelanga.
Faktanya, anomali politik dan politisi berubah menjadi habitus yang menjijikan. Kemudian, dari ''kebudayaan'' itulah membuat reputasi politik, perjuangan mulia para politisi direndahkan publik. Tidak mendatangkan simpati dan dukungan rakyat.
Kebaikan yang dilakukan politisi dicurigai, bahkan dilawan rakyat. Resistensi dari rakyat akan terus mencuat manakala keburukan terus diproduksi para elit partai politik. Ketika elit politik itu tegas, mengatur alur perkaderan partai politik, kepercayaan (trust) publik akan meningkat.
Akan hilang kekhawatiran, kecurigaan, dan ketakutan rakyat terhadap politisi yang korup. Sebagai representasi rakyat biasa, kita berharap perbaikan serius dilakukan. Agar demokrasi makin berkualitas. Para politisi makin hebat, kaderisasi politik kian mantap dan matang.
Habitus atau kebiasaan dan perilaku politisi, sejatinya memberi solusi. Menjadi sumber inspirasi, bukan melahirkan masalah. Apalagi bertugas mempolarisasi tatanan sosial rakyat. Terjadinya anomali politik yang menyeret, bahkan yang dilakukan politisi merupakan bencana.