politik di republik ini selalu saja berjalan naik turun. Tidak stagnan. Yang aktual, tentang wacana Presiden 3 periode atau masa jabatannya Pak Jokowi sebagai Presiden diperpanjang sampai tahun 2027. Sebuah isu yang menarik. Politik bukanlah sesuatu yang subhat atau samar-samar.
TENSIMelainkan tentang hal kemanusiaan. Yang sudah pasti, jelas dan terang-benderang. Mengurusi kepentingan hajat hidup orang banyak. Hingga saat ini yang membuat wajah dan rumah besar politik Indonesia tercemar, kotor adalah aktor politik. Mereka yang kekurangan pengetahuan dan etika politik.
Faktor tersebutlah yang menyebabkan para politisi mendapat stigma buruk. Padahal tidak semua politisi senang mengambil jalan pintas. Namun karena yang dirasakan rakyat seperti itu, dimana pendekatan politisi kepada rakyat hanya bersifat kepentingan sesaat.
Sehingga demikian, politik uang atau politik transaksional turut mewarnai nalar politik. Ironis, hasilnya semua politisi dianggap seperti demikian. Kotor, amoral, malas berfikir, tak mau berjuang tulus untuk rakyat dan memposisikan rakyat sebagai objek ekspolitasi.
Begitu sempit dan memalukan. Karena perbuatan satu dua orang, satu dua kelompok, politisi lainnya ikut merasakan getahnya. Generalisasi dari persepsi publik yang buruk terhadap personifikasi politisi meluas kemana-mana. Rakyat kota, sampai rakyat di pedesaan juga nyaris satu frekuensi menyimpulkan tentang watak politisi yang buruk.
Politisi disebut buruk. Lalu politik dianggap samar-samar. Tidak jelas arah dan tujuannya. Itulah persepsi publik. Realitas juga sengaja merepresentasikan politik kita seperti ''TPA''. Ternyata tujuan politik sangat mulia. Yakni untuk mensejahterakan rakyat.
Bukan mempolarisasi, menciptakan pertikaian dan kegaduhan di tengah-tengah rakyat. Sering kali memicu salah tafsir dalam politik disebabkan dari kurangnya edukasi. Juga budaya literasi dari para politisi kita. Mereka lebih menganggap diri sebagai corong rakyat.
Yang kerjanya hanya bicara. Kemudian, mengecilkan diri, mengabaikan pada aspek praktek keteladanan sosial. Tindakan nyata dari ''kekurangan'' tersebut dimanifestasikan melalui praktek politik materialistik. Motivasi politik elektoral bukan pada ranah pengabdian, pelayanan.
Melainkan menjadikan dirinya sebagai ''raja''. Hanya mau dilayani rakyat. Kesulitan untuk menempatkan diri di tengah rakyat. Paling nampak dari perilaku ini ialah yang sering dipertontonkan para wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD, dan top eksekutif). Alhasil, mereka berjarak dengan rakyat.
Bermaksud mendekatkan diri dengan rakyat, malah kenyataannya mereka menciptakan sekat. Ini soal perilaku yang telah dijadikan gaya hidup. Politik bukanlah subhat, melainkan jalan suci bekerja untuk rakyat. Kepentingan rakyat yang menjadi orientasi perjuangan politik.
Politik juga bukan sekedar pembentukan dan pembagian kue kekuasaan. Mirisnya, polarisasi kepentingan yang sistematis tersebut mengorbankan nama baik politik. Dengan ragam alibi. Rakyat menjadi trauma, menganggap politik sebagai rute merusak moralitas publik.