Tanggal 21 April 2014 lalu menjadi hari kramat bagi mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo. Bukan tanpa alasan karena beliau ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak setelah menerima seluruh permohonan keberatan pajak PT BCA Tbk atas transaksi non-performing loan (NPL) sebesar Rp 5,7 triliun dan negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 375 miliar. KPK didesak menjadikan kasus korupsi pajak Bank Central Asia sebagai pintu masuk untuk mengusut penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Keputusan Hadi mengabulkan permohonan keberatan pajak Bank BCA tahun 1999 menyimpan banyak kejanggalan. Pada saat yang hampir bersamaan, dua bank lain, Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia, juga melayangkan keberatan yang sama, tapi permohonan keduanya ditolak mentah-mentah. Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengingatkan KPK agar berhati-hati. Pasalnya, Hadi sangat rapi dalam memberikan keputusan. Bank BCA merupakan satu-satunya bank yang permohonan keberatan pajaknya dikabulkan oleh Hadi. Dua bank lain, Bank Danamon dan BII, ditolak hingga mengajukan proses keberatan lewat Pengadilan Pajak. Apakah penetapan tersangka Hadi Purnomo ada unsur Politis?
Keputusan Hadi Purnomo mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA menyimpan banyak kejanggalan
Selaku Direktur Jenderal Pajak periode 2002-2004, Hadi diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum terkait dengan pengajuan keberatan pajak BCA. Kasus ini berawal ketika BCA mengajukan permohonan keberatan pajak sekitar 2003. Atas keberatan pajak ini, Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) melakukan telaah yang hasilnya mengusulkan Dirjen Pajak untuk menolak permohonan keberatan pajak BCA tersebut.
Namun, Hadi Poernomo justru memutuskan sebaliknya. Dia memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan tersebut sehingga permohonan keberatan pajak BCA dikabulkan. Keputusan yang mengabulkan permohonan pajak tersebut diterbitkan Hadi sehari sebelum jatuh tempo bagi Ditjen Pajak untuk menyampaikan putusannya atas permohonan BCA tersebut.
Karena diputuskan satu hari sebelum jatuh tempo, Direktur PPh tidak memiliki cukup waktu untuk menyampaikan tanggapannya atas putusan Hadi selaku Dirjen Pajak. Padahal, menurut KPK, Hadi sedianya memberikan waktu kepada Direktur PPh, selaku pihak penelaah, untuk menyampaikan tanggapannya. Atas perbuatan ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.
Setelah berkali-kali memanggil saksi untuk kasus ini, namun KPK tak patah arang, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan tidak main-main menetapkan Hadi sebagai tersangka. Dia memastikan pemeriksaan pajak ini bermasalah sejak awal. Sebab, tahun pajak adalah 1999, tapi pemeriksaan baru dilakukan pada 2002 dan keberatan baru disampaikan satu tahun setelahnya, 2003.
Dalam kasus ini KPK telah menetapkan satus tersangka, yakni mantan Ketua BPK Hadi Purnomo. Hadi diduga menyalahgunakan wewenangnya saat menjabat sebagai direktur jenderal Pajak. Hadi dan kawan-kawan, kata Abraham, disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Penyertaan sangkaan menggunakan Pasal 55 KUHP juga mempertegas dugaan Hadi tidak sendirian melakukan perbuatan tersebut.
Menurut Johan Budi (Jubir KPK), KPK menyidik kasus dugaan korupsi yang menjerat Hadi berawal dari laporan masyarakat yang masuk ke Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK sehingga kasus ini naik ke permukaan. Kini kasus BCA kembali menjadi sorotan. Mau dibawa kemana kasus ini nantinya? Kita semua berharap KPK dapat menuntaskan kasus ini dengan berani dan tegas tanpa pandang bulu sehingga kasus BCA serta BLBI dapat segera diselesaikan sehingga masyarakat dan negara ini tidak terus menjadi korban para koruptor yang tidak bertanggung jawab. Mari kita tunggu kelanjutan kasus ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H