Mohon tunggu...
Amarsha Auranada
Amarsha Auranada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

enfj

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan (SDG 3)

23 Agustus 2023   00:32 Diperbarui: 23 Agustus 2023   00:39 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu alasan pemerintah mengambil pungutan atas cukai rokok adalah supaya minimal 50 persen dari hasil Pajak Rokok dan Bea Cukai tersebut dapat dialokasikan untuk mendanai biaya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan dapat mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional, seperti yang tertera dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagai negara berkembang, tentu kita membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembangunan infrastruktur yang baik, memadai, dan secara merata. Oleh karena itu, pemerintah berharap melalui Pajak Rokok dan Bea Cukai, dapat mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional dengan menerapkan peran ganda dalam pajak tersebut di mana pajak rokok menjadi kewenangan pungutan Pemerintah Daerah dan cukai rokok menjadi kewenangan pungutan Pemerintah Pusat. 

Pajak Rokok dan Bea Cukai sendiri berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2016 mengenai petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat. Berdasarkan peraturan tersebut, pajak rokok dapat dimanfaatkan untuk pengendalian konsumsi rokok di kalangan masyarakat, promosi kesehatan di lingkup keluarga dan lingkungan, dan masih banyak lagi. 

Namun, apakah sejauh ini penggunaan Pajak Rokok dan Bea Cukai sebagai sumber pembiayaan pelayanan kesehatan merupakan langkah yang strategis untuk memenuhi kebutuhan dana dalam bidang kesehatan di tingkat nasional? 

Di bidang kesehatan sendiri, masih banyak masalah yang kita hadapi baik di skala daerah maupun skala nasional. Meskipun sudah ditetapkannya  Pajak Rokok dan Bea Cukai sebagai solusi pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional, pengalokasian dana yang tidak sedikit itu tidak berimbang dengan pelayanan dan tingkat fasilitas kesehatan yang tersedia. Walau pun sudah diberlakukannya Pajak Rokok dan Bea Cukai sebagai kebijakan nasional, hal ini belum bisa diimbangi dengan upaya edukasi serta pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya rokok.    

Contoh nyata dapat kita lihat dari pernyataan Kepala Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) Dr. Diah Ayu Puspandari Apt, MBA, MKes. Beliau menyatakan bahwa sejak tahun 2010, pemerintah mulai mengalokasikan sebagian dari Pajak Rokok dan Bea Cukai yang diterima oleh Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan. Tetapi, pada bulan Desember 2020, alokasi dana ini turun secara signifikan dari semula 50 persen menjadi 25 persen. 

Menurutnya, perlu adanya upaya advokasi serta inovasi, seperti dengan memberikan fleksibilitas terhadap penggunaan dana Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah, dari pihak pemerintah supaya dapat merelokasi dana untuk sektor kesehatan guna mensukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional menjadi 50 persen kembali. Jika sebelumnya dana yang diperoleh dari Pajak Rokok dan Bea Cukai sebanyak 50 persen belum cukup untuk menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan secara menyeluruh, bagaimana dengan nasib masyarakat yang tentunya akan sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai dan merata dengan alokasi dana sebesar 25 persen? Apakah penerapan Pajak Rokok dan Bea Cukai ini masih bisa dibilang berguna bagi program jaminan kesehatan nasional secara signifikan? 

Contoh lainnya dapat kita lihat dari pernyataan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, bahwa kenaikan cukai rokok 12 persen pada 2022 berpotensi meningkatkan alokasi pajak rokok untuk program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Namun, menurut penilaiannya,implementasi dari pungutan pajak rokok untuk program jaminan kesehatan sejauh ini belum optimal untuk menambah pendapatan BPJS Kesehatan karena terganjal oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. 

Misalnya pada tahun 2020, bila mengacu pada hitungan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, potensi pendapatan BPJS Kesehatan dari pajak rokok dapat mencapai 5 sampai 6 triliun Rupiah. Namun, berdasarkan laporan keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2020, realisasi dari pendapatan pajak rokok hanya mencapai angka 1,24 triliun Rupiah. Dapat dilihat jelas bahwa sejauh ini penerapan Pajak Rokok dan Bea Cukai tidak terlalu dapat memberi kontribusi yang signifikan dan konsisten dalam proses pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional. 

Selain itu, alokasi Pajak Rokok dan Bea Cukai dinilai telah membuat para perokok seperti pahlawan tanpa tanda jasa dengan membeli dan mengkonsumsi rokok. Padahal kenyataannya justru sebaliknya, karena rokok hanya dapat merusak diri sendiri dan berdampak buruk bagi sekitar dengan menjadikan orang lain sebagai perokok pasif yang mau tidak mau ikut menghirup asap rokok tersebut. Sebaiknya, pemerintah dapat menemukan solusi dalam jangka panjang untuk menjamin adanya harmoni antara pembiayaan dan kualitas jaminan pelayanan dan fasilitas kesehatan masyarakatnya.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun