Melihat data anak korban trafficking dan eksploitasi pada tahun 2018, kasus prostitusi pada anak paling dominan mencapai 93 kasus jika kita bandingkan dengan kasus lainnya, yakni anak korban perdagangan, anak korban ESKA dan korban pekerja anak total seluruhnya 329 kasus.Â
Menginjak triwulan pertama di tahun 2019, KPAI mengawasi dan memantau 8 kasus menonjol yang sudah ditangani kepolisian.Kasus-kasus tersebar hampir merata di berbagai penjuru Indonesia dengan prosentase jumlah korban pada setiap kasus rata-rata di atas 3 orang.
Pada Januari 5 anak dilibatkan dalam prostitusi etalase seks di Bali, kemudian prostitusi menyasar pelajar di Lampung Timur. Di Ambon prostitusi online 8 anak disediakan di sebuah rumah, dan anak dalam gurita prostitusi secara live streaming di Jakarta Barat.
Serta kasus terbaru di Bengkulu, Blitar, Jakarta Utara dan Tanjung Pinang. Hal ini menampakan fenomena gunung es yang terus mengeras dan sulit untuk diurai.
Mewaspadai Prostitusi Berbasis Online
Tren rekruitment dari 8 kasus tersebut 80% dinyatakan melalui prostitusi online, sebab teknologi memberikan kemudahan dalam berinteraksi dan bertransaksi dengan user, kapanpun dan dimanapun.
Hal ini yang berbeda dengan pola konvensional/off line, yang ditunjukkan oleh perpindahan tempat, penjemputan, penampungan dan pola eksploitasi yang manual.
Pada kasus Jakarta Barat, pola eksploitasi seksual pun disajikan secara live streaming (pertunjukkan seks anak secara live) sesuai harga yang para mucikari tetapkan. Demikian pula dari 8 kasus tersebut, jenis media social yang kerap digunakan adalah media social yang mudah dan tidak terlalu asing bagi semua kalangan. Berikut tabulasi dari 8 kasus prostitusi, 6 diantaranya secara online :Â
Pencegahan dalam ruang pengasuhan keluarga yang baik dan pemenuhan hak anak mengenyam pendidikan formal merupakan kunci menutup rapat peluang anak menjadi korban prostitusi.
Anak korban prostitusi menerima kerugian luar biasa seperti dari segi kesehatan reproduksi, terpapar HIV AIDs serta kehamilan tidak diinginkan (KTD).
Kemudian, berkurangnya kesempatan melanjutkan pendidikan formal karena akibat ia dikeluarkan dari sekolah, atau rasa rendah diri potensi dibullying teman di sekolah dan di masyarakat, menjadi pribadi yang unskill karena kurangnya penanaman karakter dan keterampilan untuk bekal kehidupannya.