Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - seorang Ibu dengan dua orang anak

Mengaji, mendidik, berdiskusi dan memasak indahnya dunia bila ada hamparan bunga tulip dan anak-anak bermain dengan riang gembira mari kita isi hidup ini dengan dzikir, fikir dan amal soleh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Ganda Dunia Daring untuk Anak

13 April 2018   17:03 Diperbarui: 13 April 2018   17:16 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarahan seorang artis Indonesia saat anak kesayangannya dipanggil Lolly dalam sebuah chatt room media social terlihat jelas di layar kaca. Pasalnya Lolly adalah sebutan  pada anak-anak yang menjadi korban eksploitasi secara seksual para predator anak. Tidak cukup hanya sampai marah, ia pun memperkarakannya kemeja hijau .

Kasus di atas hanyalah sebagian kecil maraknya angka kejahatan seksual pada anak. Bertepatan dengan kasus di atas, KPAI sedang menangani adanya Video Gay kidz yang dibongkar Cyber Crime POLRI hingga mencapai 750 ribu konten porno anak-anak penyuka sesame jenis dengan melibatkan 49 antar Negara di dunia. 

Bersamaan itu pula laporan KPAI tahun 2015 memperlihatkan adanya kecenderungan anak-anak korban prostitusi secara online meningkat secara drastis dari jumlah 83 kasus pada tahun 2014 menjadi 117 kasus pada tahun 2015. Trend meningkatnya kejahatan seksual pada anak dipicu oleh kemudahan fasilitas teknologi yang memberikan kemudahan bertransaksi secara elektronik.

Berbeda dengan fenomena di atas, tulisan ini hendak melihat adanya gejala social baru yang juga memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan maraknya  orang tua yang yang gemar menampilkan anak di media sosial dan mendandani layaknya selebriti, membuat akun khusus untuk anak yang menampilkan kehidupan pribadi anak, bahkan terkesan ingin meraup keuntungan dari popularitas anaknya. Apakah ini bentuk lain dari perilaku eksploitasi kepada anak? Ataukah hanya pergeseran budaya yang akan menjadi konsekwensi dari kedahsyatan dunia daring dewasa ini?

Konteks Perlindungan Anak

Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) di PBB tahun 1989 yang diratifikasi melalui Kepres No 36 tahun 1990 yang memuat perlindungan, pemenuhan dan kepentingan untuk memajukan Hak anak yakni non diskriminasi, hak hidup dan tumbuh kembang, kepentingan terbaik bagi anak dan hak partisipasi. Langkah selanjutnya, Indonesia mensyahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian hasil revisi UU No 35 tahun 2014 dan dilengkapi oleh revisi No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak

Pergeseran budaya dari manual menjadi teknologi bukan hanya sebuah indikator kemajuan dalam pembangunan manusia, namun juga trend manusia dalam menikmati kemudahan hidup. Tanpa disadari budaya hedonism dan konsumerism untuk pemenuhan hidup berteknologi menjadi sebuah kesatuan dalam praktik keseharian. 

Fenomena seperti itu memunculkan sikap-sikap hyper technologi yang identik dengan eksploitasi dengan cara menggunakan, mengunggah, mengupload, mencari, mengirimkan dan memamerkan beragam akivitas secara berlebihan sudah menjadi tradisi baru. Belum lagi perilaku imitasi dan sensasional kerap melengkapi budaya baru tersebut.  Yang lebih parah perilaku tersebut diterapkan pada anak-anak yang sesungguhnya belum maksimal dalam memahami realitas yang terjadi. Disinilah ruang lingkup perlindungan anak akan mengatur dan memberikan sanksi hukum yang jelas apabila sudah masuk pada ranah pidana.

Contohnya ada perilaku orang tua anak diikat dan diberikan jadi umpan monyet, anak diberikan rokok hingga anak dicekoki miras menjadi pemandangan viral yang mengundang polisi untuk mengusutnya. 

Beberapa media luar negeri bahkan pernah mengunggah seorang anak yang akan dijatuhkan diatas gedung/apartemen oleh ayahnya dan kemudian diunggah ke media hanya untuk mendapat 'like' atau share tertinggi dari para pengguna medsos. Ia pun berakhir dengan kepolisian. 

Perilaku nekat orang-orang dewasa tersebut telah mengaburkan makna fungsi media daring yang sesungguhnya untuk kemanfaatan berkinerja menjadi kontraproduktif dan sangat eksploitatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun