Dalam satu minggu terakhir peristiwa perdagangan orang/anak untuk kepentingan kejahatan seksual, baik melalui eksploitasi persetubuhan dan pencabulan oleh kelompok WNA di Jakarta selatan, serta eksploitasi seksual dan ekonomi melalui memproduksi film porno yang melibatkan anak-anak kepada orang dewasa sangat menyayat hati.Â
Kasus kedua disebut-sebut melibatkan orang tua korban yang mengarahkan adegan itu selain ada orang (surtadara) yang merekam film tersebut. Dua peristiwa  ini menunjukkan pola perdagangan orang menapaki fase yang semakin rumit untuk diendus.
Dalam konteks perdagangan orang, unsur-unsurnya jelas terlihat dalam rangkaian peristiwa itu, dimana ada perekrutan yang melibatkan perorangan atau kelompok yang memfasilitasi terselenggaranya pekerjaan tersebut, anak-anak ini diajak, diiming-iming diarahkan dan dibawa oleh sekelompok orang dewasa bahkan orang tua untuk melakukan.Â
Berikutnya, pemindahan, penampungan dan penerimaan yang dilakukan kelompok serta perseorangan dalam memperlakukan anak-anak ini, entah di rumah, di hotel bahkan dibasecamp sebuah mall yang menurut pelaku nyaman bagi mereka.
Pelibatan anak dalam kasus ini menyasar kelompok yang lemah secara ekonomi dan pendidikan. Anak-anak ini merupakan orang-orang dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, yang notabene orang tuanya bekerja sebagai pedagang asongan dan kuli rongsokan, sehingga untuk mereka tinggal dan besar dijalanan sangat mungkin.Â
Sehingga mereka betapa rentan dan menjadi kelompok yang mudah untuk dicari dan diakses oleh pelaku. pada akhirnya mereka adalah kelompok yang mengeksploitasi anak-anak yang lemah dan dilemahkan secara ekonomi dan sosial.
Selain secara ekonomi, anak-anak yang disasar juga kelompok yang tidak memiliki pendidikan, mereka adalah anak yang sudah drop out dari Sekolah Dasar, yang kemudian tidak disikapi secara serius oleh orang tuanya untuk segera melanjutkan atau mencari sekolah lain.Â
Jadi begitu keluar, anak-anak ini terlupakan untuk segera disekolahkan kembali. Dapat dibayangkan pendidikan dasar saja mereka tidak punya, sehingga begitu mudah terkontaminasi berbagai ajakan dan bujuk rayu yang menjerumuskan mereka pada kehancuran.
Unsur eksploitasi menjadi kunci dalam peristiwa tersebut, dimana anak-anak ini diperlakukan sebagai objek yang bisa diambil keuntungannya untuk tujuan kepentingan dan keuntungan pribadi.Â
Eksploitasi seksual terlihat dalam partisipasi seseorang dalam pelacuran, penghambaan secara seksual, atau produksi pornografi sebagai akibat dari ketiadaan pilihan terhadap ancaman, penipuan, pemaksaan, dan tekanan yang mereka terima, sehingga terselenggaralah  peristiwa tersebut.
Pelaku trafficking memang biasanya tidak sendiri, selalu berkomplot dan memiliki skema-skema yang biasa mereka rencanakan.Â