Data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 mengatakan angka perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.
Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Angka 16 tahun dalam usia perkawinan perempuan berpotensi melanggar/tidak sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU 23 Tahun 2002 dan hasil revisi UU Nomor  35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Segala pelanggaran konstutusi menuju pada pelegalan perkawinan di bawah usia yang berdampak pada munculnya diskriminasi pendidikan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Tahun ini dalam peringatan Hari Anak Nasional, mari menjadikan momentum bersama untuk kembali menyuarakan hak anak indonesia terutama anak perempuan yang punya kerentanan dalam bereproduksi untuk melindungi mereka dari praktik kawin anak di berbagai belahan nusantara.Â
Sebab faktanya, anak perempuan sangat rentan dikawinkan dengan alasan-alasan menutupi aib, membalas budi, menitipkan kehidupan, adat istiadat, alasan menghindari zina (pada laki-laki malah tidak disebutkan), dan lain-lain. Padahal konsekwensi perkawinan sangat banyak, selain fisik dan psikologis yang belum stabil usia anak jelas memutus akses pendidikan, rentan KDRT, dan mengurangi akses kemandirian dan kesejahteraan mereka, walau pun mereka berada dalam keluarga yang berada.
Menghadapi problem tersebut perlu langkah-langkah kongkrit kita, yakni
1. Benahi pengasuhan dalam keluarga, posisikan anak sebagai pribadi yang harus didengar pendapatnya, dipenuhi hak-hak dasarnya dengan baik serta dibimbing diarahkan diberikan teladan mulia dalam keluarga.Â
Usia anak adalah usia meniru dan bermain, sehingga cara-cara membesarkan dan mendidik diperlukan sikap yang demokratis, partisipatoris dan penuh kasih sayang. Meski demikian orang tua perlu memberlakukan reward and punishmen dalam merespon perilaku mereka. Pendisiplinan anak-anak di rumah diupayakan melalui persetujuan bersama anak dan diorientasikan pada disiplin positif sehingga perlahan anak dikenalkan pada tanggungjawab dan mematuhi aturan.
2. Perkawinan usia anak memiliki dilematis sendiri dalam regulasi di Indonesia. Sinkronisasi UU sangat diperlukan dalam membangun program nasional yang sudah dilaksanakan oleh seluruh pihak terutama penyelenggara perkawinan.
 Sudah saatnya para pemangku kepentingan di Indonesia menyadari bahwa usia perkawinan anak minimun dalam UU perkawinan dinaikkan dari 16 tahun perempuan menjadi 18 tahun sebagai upaya pencegahan kekerasan dan penderitaan anak-anak perempuan yang dikawinkan. Oleh sebab itu penting melakukan konsolidasi dan revitalisasi dalam menaikkan batas minimun usia perkawinan dengan kelompok strategis agar terbangun gerak bersama dalam mewujudkan advokasi regulasi tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H