Cepat-cepat dibukanya surat bersampul navy blue itu. Bersubjek unik khas si pengirim, tulisan kata 'Lega' di sudut bawah namanya. Pun perangko yang melekat di sampul surat. Agaknya perangko ini edisi khusus karena bergambar puncak gunung salju. Puncak Cartenz yang indah.
Ini surat pertama kali aku kirim sejak kau pindah. Pejamkan dulu matamu. Lalu buka pelan-pelan. Lega kan? Sudahlah jangan pikirkan judul sampulku. Kesimpulannya aku sudah benar-benar ke luar. Seperti di dua pertemuan yang lalu yang kau datang tiba-tiba padahal kau menguntitku beberapa waktu itu. Aku matangkan inginku seperti petuahmu yang mujarab itu.
Hanya saja aku belum tahu ke mana. Aku tidak ke kota itu. Belum maksudku untuk saat ini. Entah nanti, bisa saja tanpa terencana kakiku "gatal" ingin ke sana.
Lega. Itulah perasaan yang diberkahi. Yang sampai di ujung jaripun rasanya tetap lega.
"Aku ikut senang", gumamnya beberapa kali.
Delapan hari kemudian surat itu dibalasnya.
Kau senang? Bagaimana sekarang, tidak apa-apa kan untuk sebentar waktu saja tanpa kegiatanmu yang seperti biasa. Atau kau punya kegiatan lain? Atau kau mau pikirkan lagi permintaanku yang dulu? Aku akan datang tanggal delapan belas bulan depan. Pikirkan baik-baik.
Tanggal delapan belas pun tiba. Sosoknya datang dalam keadaan yang sama dengan empat tahun silam. Namun rasanya ada yang berbeda. Sosok itu lebih damai. Skandinavia telah mengubahnya pelan-pelan.
"Aku pikir kau akan datang terlambat", dirapikannya meja di depannya.
"Tidak...aku rasa aku tepat waktu. Kau sudah pikirkan?", pertanyaan itu terlontar juga. Harus dijawab sekarang juga, jika tidak akan menyesal menemuinya saat ini.
"Kau bertanya terlalu cepat, apa kau tak ingin tanya kabarku dulu." Mengembang senyumnya, diraihnya segelas mocca latte yang dingin itu.
"Tidak...aku rasa aku tepat...", meledak dua tawa dalam satu meja itu.
"Aku menjawabnya di cacatan ini. Kau akan temukan jawaban di beberapa halaman."
"Baiklah. Aku akan ke beberapa tempat dalam seminggu ini. Kau boleh memilih berangkat denganku atau.."
"Atau tidak berangkat", suaranya berangsur mengecil.
"Aku belum baca catatanmu. Aku tak ingin terlambat, aku pergi dulu."
Dia pergi. Dengan catatan itu. Dan aku terpekur. Bahwa inilah akhirnya. Yang dia inginkan dan aku inginkan. Cepat-cepat diambilnya selembar kertas dan sampul navy blue.
Jawabanku sepenuhnya absurd di catatan itu. Ini bulan baru, aku mau memulainya. Memulai yang baru denganmu. Kita ke Alexandria, kota senja yang indah itu. Kita rayakan ke sana setelah pernikahan kita di sini.
Cepat-cepat dilipatnya surat itu. Beranjak cepat, tak ingin terlambat menyampaikan surat pada kekasihnya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H