PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIKSEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Amarhadi
Guru Matematika SMAN 1 Dompu
E-mail: amarhadi_31@yahoo.co.id
Abstrak
Perubahan paradigma yang salah satunya adalah beralihnya teori positivis (behaviorist) ke konstruktivisme, atau dari subject centered ke clearer centered (terbentuk/ terkonstruksinya pengetahuan). Pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan individu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Imbasnya dengan pembelajaran matematika, harus bisa menjawab tantangan jaman. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di lapangan (masalah autentik), diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.
Kata Kunci:konstruktivis, behaviorist, ekperiment, dam autentik.
A.Pendahuluan
Tidak seluruh siswa mempunyai cara pandang dan cara berfikir yang sama ketika belajar matematika. Misalnya siswa A selalu berusaha menyelesaikan soal matematika dengan cara yang berbeda dengan temannya. Dia sangat menikmati belajar matematika, apabila mampu menemukan penyelesaian dengan cara yang tidak biasa. Siswa B merasa nyaman belajar matematika jika berhasil mengerjakan soal matematika dengan cara yang sama dengan contoh oleh gurunya. Dirumah, ia berlatih dengan prosedur yang sama sampai ketika diadakan ulangan cara tersebutlah yang digunakan. Ia tidak suka dengan sesuatu yang tidak biasa. Sekali ia memiliki satu cara penyelesaian, maka ia tidak tertarik dengan cara lain walaupun sama-sama menghasilkan penyelesaian yang benar. Siswa C tidak bisa berbuat apa-apa jika guru tidak menjelaskan secara eksplisit langkah demi langkah cara menyelesaikan suatu masalah matematika. Sedangkan siswa D sebenarnya sering ingin memunculkan kreativitasnya dalam menyelesaikan soal matematika yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tapi ia sendiri yang kurang percaya diri dan merasa tidak menguasai pelajaran.
Masalah nyata yang sering dihadapi dalam pembelajaran di kelas selama ini adalah banyaknya siswa dengan karakter seperti siswa A, B, C dan D. sehingga kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal-soal tidak rutin sangat rendah. Yang dimaksud dengan soal-soal rutin adalah soal-soal yang memiliki penyelesaian baku dan sedikit makna. Siswa dapat menghitung dan menyelesaikan tetapi tidak paham maksudnya. Kebanyakan siswa hanya mengulang prosedur yang contohnya sudah diberikan guru. Ketika dihadapkan dengan masalah lain dengan dengan konsep yang sama tetapi berbeda konteks, mereka merasa kesulitan dan gagal memanfaatkan pengetahuannya untuk menyelesaikan.
Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Sifat dari pendekatan kontruktivis adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaiakan dengan caranya sendiri. Teori kontruktivis menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus dibangun oleh siswa di dalam benaknya sendiri melalui pengembangan proses mentalnya. Dalam hal ini siswalah yang membangun dan menciptakan makna pengetahuannya (Nur, 2000, dalam Gasong, 2012).
Seperti siswa A akan sangat antusias jika menemukan solusi dengan caranya sendiri. Mungkin siswa seperti B mula-mula tidak nyaman dengan keberagaman respon atau keberagaman prosedure mendapatkan solusi dalam masalah. Namun dengan latihan dan bimbingan hal itu bisa teratasi. Siswa seperti D akan lebih percaya diri jika tahu bahwa ide-idenya selama ini mendapat tempat pada pembelajaran model pembelajaran konstruktivis.
B.Pembahasan
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Misalnya masalah yang diformulasikan memiliki korelasi dengan masalah nyata, atau jika memungkinkan masalah tersebut memiliki multi jawaban yang benar, disebut masalah tak lengkap. Siswa yang dihadapkan dengan masalah experimental learning, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada bagaimana sampai pada suatu jawaban, sehingga siswa tidak terpaku pada jawaban yang harus dikumpulkan pada gurunya. Dengan demikian tidak hanya satu metode atau cara untuk mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak. Siswa memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan antar individu sehingga siswa terbiasa mengahadapi masalah secara inklusif. Hal ini tentu menjawab keadaan siswa atau karakter siswa A, B, C dan D. Selamat datang kemajemukkan selamat tinggal persamaan (yang dipaksakkan) yang tentu sesuai dengan paradigma pendidikan kita saat ini.
Implikasi dari proposisi-proposisi konstruktivis tersebut dalam kegiatan pembeleajaran memberikan keleluasaan terhadap proses belajar sebagai berikut:
a.Siswa berpartisipasi aktif dalam pelajaran dan lebih mudah mengungkapkan idenya. Pemecahan masalah yang menenkankan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri, membuat suasana belajar yang bebas, responsif, dan mendukung karena siswa melakukan analisis, sintesa dan argumentasi. Sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk memperoleh jawaban sendiri. Dengan demikian siswa mempunya keinginan mengetahui jawaban yang lain, dan mereka dapat membandingkan dan mendiskusikan solusi masing-masing. Karena siswa sangat aktif maka hal tersebut membawa semua siswa pada diskusi kelas yang menarik.
b.Siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematiknya secara komprehensif. Karena pengetahuan dibentuk oleh individu secara personal dan sosial.
c.Siswa memilki pengalaman bernalar melalui kegiatan membandingkan dan diskusi dalam kelas, sehingga siswa sangat termotivasi untuk memberikan alasan dari jawaban-jawaban kepada siswa lain. Kegiatan ini merupakan kesempatan untuk mengembangkan cara berpikir mereka.
C.Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan individu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Begitu juga dengan pembelajaran matematika yang harus dikembangkan adalah pembelajaran yang penuh makna, dalam arti siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas, kolaboratif dan reflektif serta interpretasi. Pembelajaran matematika adalah menata lingkungan belajar agar kondusif, siswa termotivasi dalam menggali makna dan mengahargai perbedaan sekaligus mengahargai ketidakmampuan individu.
KEPUSTAKAAN
Arifin, 2012. Kompetensi Guru dan Strategi Pengembangannya. Malang: Penerbit Lilin
Gasong, Dina, 2012. Model Pembelajaran Konstruktivistik. Makalah: PPs UNJ.
TIM BPSDM & PMP, 2013. Modul PLPG 2013: Materi Model dan Perangkat Pembelajaran. Jakarta: Kemdikbud.
Tim Instruktur PPPG Matematika. 2003. Metode Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Yogyakarta: PPPG Matematika
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIKSEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh: Amarhadi
Guru Matematika SMAN 1 Dompu
E-mail: amarhadi_31@yahoo.co.id
Abstrak
Perubahan paradigma yang salah satunya adalah beralihnya teori positivis (behaviorist) ke konstruktivisme, atau dari subject centered ke clearer centered (terbentuk/ terkonstruksinya pengetahuan). Pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan individu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Imbasnya dengan pembelajaran matematika, harus bisa menjawab tantangan jaman. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di lapangan (masalah autentik), diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.
Kata Kunci:konstruktivis, behaviorist, ekperiment, dam autentik.
A.Pendahuluan
Tidak seluruh siswa mempunyai cara pandang dan cara berfikir yang sama ketika belajar matematika. Misalnya siswa A selalu berusaha menyelesaikan soal matematika dengan cara yang berbeda dengan temannya. Dia sangat menikmati belajar matematika, apabila mampu menemukan penyelesaian dengan cara yang tidak biasa. Siswa B merasa nyaman belajar matematika jika berhasil mengerjakan soal matematika dengan cara yang sama dengan contoh oleh gurunya. Dirumah, ia berlatih dengan prosedur yang sama sampai ketika diadakan ulangan cara tersebutlah yang digunakan. Ia tidak suka dengan sesuatu yang tidak biasa. Sekali ia memiliki satu cara penyelesaian, maka ia tidak tertarik dengan cara lain walaupun sama-sama menghasilkan penyelesaian yang benar. Siswa C tidak bisa berbuat apa-apa jika guru tidak menjelaskan secara eksplisit langkah demi langkah cara menyelesaikan suatu masalah matematika. Sedangkan siswa D sebenarnya sering ingin memunculkan kreativitasnya dalam menyelesaikan soal matematika yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tapi ia sendiri yang kurang percaya diri dan merasa tidak menguasai pelajaran.
Masalah nyata yang sering dihadapi dalam pembelajaran di kelas selama ini adalah banyaknya siswa dengan karakter seperti siswa A, B, C dan D. sehingga kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal-soal tidak rutin sangat rendah. Yang dimaksud dengan soal-soal rutin adalah soal-soal yang memiliki penyelesaian baku dan sedikit makna. Siswa dapat menghitung dan menyelesaikan tetapi tidak paham maksudnya. Kebanyakan siswa hanya mengulang prosedur yang contohnya sudah diberikan guru. Ketika dihadapkan dengan masalah lain dengan dengan konsep yang sama tetapi berbeda konteks, mereka merasa kesulitan dan gagal memanfaatkan pengetahuannya untuk menyelesaikan.
Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Sifat dari pendekatan kontruktivis adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaiakan dengan caranya sendiri. Teori kontruktivis menekankan bahwa ilmu pengetahuan harus dibangun oleh siswa di dalam benaknya sendiri melalui pengembangan proses mentalnya. Dalam hal ini siswalah yang membangun dan menciptakan makna pengetahuannya (Nur, 2000, dalam Gasong, 2012).
Seperti siswa A akan sangat antusias jika menemukan solusi dengan caranya sendiri. Mungkin siswa seperti B mula-mula tidak nyaman dengan keberagaman respon atau keberagaman prosedure mendapatkan solusi dalam masalah. Namun dengan latihan dan bimbingan hal itu bisa teratasi. Siswa seperti D akan lebih percaya diri jika tahu bahwa ide-idenya selama ini mendapat tempat pada pembelajaran model pembelajaran konstruktivis.
B.Pembahasan
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Misalnya masalah yang diformulasikan memiliki korelasi dengan masalah nyata, atau jika memungkinkan masalah tersebut memiliki multi jawaban yang benar, disebut masalah tak lengkap. Siswa yang dihadapkan dengan masalah experimental learning, tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada bagaimana sampai pada suatu jawaban, sehingga siswa tidak terpaku pada jawaban yang harus dikumpulkan pada gurunya. Dengan demikian tidak hanya satu metode atau cara untuk mendapatkan jawaban, namun beberapa atau banyak. Siswa memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan antar individu sehingga siswa terbiasa mengahadapi masalah secara inklusif. Hal ini tentu menjawab keadaan siswa atau karakter siswa A, B, C dan D. Selamat datang kemajemukkan selamat tinggal persamaan (yang dipaksakkan) yang tentu sesuai dengan paradigma pendidikan kita saat ini.
Implikasi dari proposisi-proposisi konstruktivis tersebut dalam kegiatan pembeleajaran memberikan keleluasaan terhadap proses belajar sebagai berikut:
a.Siswa berpartisipasi aktif dalam pelajaran dan lebih mudah mengungkapkan idenya. Pemecahan masalah yang menenkankan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri, membuat suasana belajar yang bebas, responsif, dan mendukung karena siswa melakukan analisis, sintesa dan argumentasi. Sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk memperoleh jawaban sendiri. Dengan demikian siswa mempunya keinginan mengetahui jawaban yang lain, dan mereka dapat membandingkan dan mendiskusikan solusi masing-masing. Karena siswa sangat aktif maka hal tersebut membawa semua siswa pada diskusi kelas yang menarik.
b.Siswa memiliki lebih banyak kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematiknya secara komprehensif. Karena pengetahuan dibentuk oleh individu secara personal dan sosial.
c.Siswa memilki pengalaman bernalar melalui kegiatan membandingkan dan diskusi dalam kelas, sehingga siswa sangat termotivasi untuk memberikan alasan dari jawaban-jawaban kepada siswa lain. Kegiatan ini merupakan kesempatan untuk mengembangkan cara berpikir mereka.
C.Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan individu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Begitu juga dengan pembelajaran matematika yang harus dikembangkan adalah pembelajaran yang penuh makna, dalam arti siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas, kolaboratif dan reflektif serta interpretasi. Pembelajaran matematika adalah menata lingkungan belajar agar kondusif, siswa termotivasi dalam menggali makna dan mengahargai perbedaan sekaligus mengahargai ketidakmampuan individu.
KEPUSTAKAAN
Arifin, 2012. Kompetensi Guru dan Strategi Pengembangannya. Malang: Penerbit Lilin
Gasong, Dina, 2012. Model Pembelajaran Konstruktivistik. Makalah: PPs UNJ.
TIM BPSDM & PMP, 2013. Modul PLPG 2013: Materi Model dan Perangkat Pembelajaran. Jakarta: Kemdikbud.
Tim Instruktur PPPG Matematika. 2003. Metode Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Yogyakarta: PPPG Matematika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H