Akhir-akhir ini retorika politisi memainkan peran penting dalam membentuk citra dan persepsi publik. Melalui frasa yang dipilih dengan cermat, seorang politisi dapat membangun dan memperkuat identitas mereka, baik sebagai pemimpin yang tegas, pemersatu, atau sebagai pelindung rakyat. Dalam konstruksi imaji publik, retorika dapat dimanfaatkan untuk menciptakan semangat, menginspirasi kepercayaan, dan memberi pengaruh pada opini publik. penyampaian retorika yang efektif akan memperkuat posisi para politisi di masyarakat dan memperoleh dukungan maksimal. Pembahasan kali ini, kita mengulik bagaimana gaya bicara seorang politisi membangun citra sebagai seorang pemimpin?, bagaimana strategi politisi membangun imaji publik? apa manfaat penggunaan dialek daerah dalam pidato atau kampanye politik?.
Gaya Bicara dan Pemilihan Kata untuk membangun Citra sebagai Pemimpin yang Dekat dengan Rakyat.
Gaya bicara dan pilihan kata merupakan komponen kunci dalam retorika politik, khususnya bagi calon pemimpin yang ingin dikenal sebagai tokoh rakyat (Widiana, dkk. 2019). Dalam konteks komunikasi politik, pemilihan kata yang tepat, nada yang tulus, dan penggunaan bahasa yang sederhana membantu membentuk persepsi masyarakat bahwa kandidat tidak hanya memahami rakyat, tetapi juga peduli terhadap aspirasi mereka. Ini merupakan bentuk komunikasi strategis, yang tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kepercayaan publik dan dukungan politik.
Secara teori, Isa (2024) gaya bicara rakyat dapat dijelaskan dengan konsep etos, pathos, dan logos dalam retorika Aristoteles. Pertama Etos atau kredibilitas, berperan penting dalam membangun hubungan dengan publik. Ketika seorang calon pemimpin menggunakan bahasa yang akrab dan sederhana, hal ini meningkatkan kredibilitasnya di mata publik, sehingga menciptakan kesan bahwa ia mudah didekati dan tidak elitis. Kedua Pathos, atau daya tarik emosional juga penting. Kata-kata yang menggugah, seperti "perjuangan", "harapan", atau "masa depan yang lebih baik", dapat menciptakan hubungan emosional yang kuat dengan audiens, menyoroti isu-isu yang dekat dengan kehidupan mereka. Pemimpin yang berfokus pada bahasa emosional menyampaikan empati terhadap penderitaan rakyat, guna membangun kepercayaan. Dan terakhir, logos atau daya tarik logis, memastikan bahwa janji atau kebijakan kandidat didasarkan pada logika dan masuk akal. Bahasa yang jelas dan langsung tanpa jargon atau istilah teknis, membantu pesan lebih mudah dipahami oleh publik dan memperkuat citra pemimpin sebagai seseorang yang tidak hanya berempati tetapi juga memiliki rencana konkret untuk mengatasi masalah tersebut.
Strategi Membangun Imaji Publik (Persona) yang Menonjolkan Kepribadian seperti "Merakyat", "Progresif", atau "Tegas".
Membangun persona dalam kampanye politik merupakan proses sistematis untuk menanamkan persepsi tertentu di benak publik tentang karakter atau kepribadian seorang kandidat. Ini berkaitan dengan buku yang ditulitis oleh Nurhayati, T. (2023) Sukses Personal Branding. Personal branding seperti "populer", "progresif" atau "tegas" mencerminkan karakteristik yang sejalan dengan harapan atau kebutuhan pemilih. Misalnya, persona "populer" dirancang untuk menunjukkan bahwa kandidat tersebut dekat dan peduli dengan kehidupan serta tantangan masyarakat sehari-hari. Kandidat dengan persona ini sering kali tampak rendah hati, berbicara dalam bahasa yang mudah dipahami, dan terlibat dalam kegiatan komunitas, yang menunjukkan empati mereka terhadap publik. Di sisi lain, persona "progresif" berfokus pada visi pembaruan dan modernisasi.
Kandidat yang memilih persona ini sering kali menekankan tema inovasi, kebijakan berbasis teknologi, dan solusi berorientasi masa depan. Bahasa yang digunakan sering kali mencakup istilah seperti "perubahan", "kemajuan" atau "transformasi" bertujuan untuk membangkitkan optimisme publik akan masa depan yang lebih baik di bawah kepemimpinan mereka. Sementara itu, persona "tegas" bertujuan untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan keberanian dalam mengambil keputusan. Kandidat yang menonjolkan persona ini biasanya menyampaikan pesan yang jelas dan lugas serta siap menghadapi atau menangani masalah yang sulit. Strategi bahasa yang digunakan lebih langsung dan terstruktur, mencerminkan rasa percaya diri dan kepastian. Ketiga persona ini dibangun melalui konsistensi dalam penggunaan bahasa, perilaku, dan simbol-simbol tertentu. Dengan memanfaatkan media dan interaksi langsung, kandidat dapat memperkuat citra yang diinginkan, memengaruhi persepsi, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Pemanfaatan Dialek Daerah dalam Pidato dan Kampanye untuk Menciptakan Kedekatan Emosional dengan Masyarakat Setempat.
Pandini, dkk. (2024) penggunaan dialek daerah dalam pidato dan kampanye politik merupakan taktik komunikasi yang bertujuan untuk membangun kedekatan emosional antara kandidat dengan masyarakat. Dalam sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai identitas yang mencerminkan budaya, norma, dan nilai suatu masyarakat. Ketika seorang kandidat berbicara menggunakan bahasa atau dialek daerah, ia menunjukkan rasa hormat dan pemahaman terhadap adat istiadat setempat, sehingga masyarakat merasa lebih dihargai dan dipahami karena bahasa tersebut merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Dari perspektif psikologis, penggunaan dialek daerah memicu “ingroup bias” atau kecenderungan bias kelompok pada audiens dan berdampak positif. Orang-orang akan cenderungan untuk memberikan perlakuan istimewa kepada kelompok yang sama, sambil menunjukkan prasangka terhadap orang luar. Dalam buku Teori Psikologi Kepribadian Manusia Fatwikiningsih (2020) menjelaskan bahwa ingroup bias terjadi ketika individu merasa lebih terikat, menghargai, dan cenderung mendukung orang lain yang memiliki karakteristik serupa, termasuk bahasa. Dengan begitu, penyampaian bahasa daerah yang familier dalam kampanye politik, masyarakat akan merasa bahwa kandidat tersebut “satu kelompok” dengan mereka, yang pada akhirnya memperkuat rasa terhubungan dengan visi dan misi kandidat.