Prasangka merupakan salah satu virus dalam berpikir. Hal ini mau tak mau berdampak kompleks, di antaranya, seseorang yang terserang prasangka akan sangat membenci sesuatu yang tak diinginkannya. Selain itu juga menyebabkan seseorang akan mudah menuduh orang lain karena prasangka yang berkelindan dalam isi kepalanya.
Tindakan prasangka ini lambat-laun dianggap menjadi hal yang lumrah dan terbiasa secara alamiah. Padahal Tindakan semacam itu harus dijauhi, karena dunia dan segala peristiwa yang terjadi tak berjalan sesuai dengan isi kepala kita.
Dalam Islam sendiri, tindakan prasangka secara khusus dibahas dan menghasilkan kesimpulan yang sama: harus dijauhi. Tindakan prasangka dikenal dengan kata su'udzon, yaitu tindakan yang selalu menjustifikasi orang lain dengan hal-hal buruk. Padahal justifikasi yang diberikan tersebut belum terang duduk perkaranya. Singkatnya, klaim sepihak yang diberikan seseorang atas orang lain dan berkonotasi negative.
Islam, dalam menyikapi sikap su'udzon ini sangat tegas. Tindakan prasangka tersebut dimasukkan ke golongan sifat tercela dan "harus" dijauhi oleh manusia. Al-Qur'an sendiri telah mewartakan bahwa ada ancaman bagi orang yang melakukan tindakan tersebut. Berjibun dalil dapat ditemui dalam al-Qur'an maupun hadits yang memerintahkan umat Islam untuk menjauhi tindakan tersebut.
Maka dari itu, istilah open minded hari ini perlu dimaknai bahwa kita tak dapat semena-mena menjustifikasi seseorang atau suatu peristiwa yang terjadi. Bersikap open minded ini perlu diterapkan ketika kita mengalami ketidaksesuaian dan perbedaan dengan yang lain. Dalam artian bahwa saat ada sesuatu yang berbeda, alangkah patutnya kita menunda penilaian, lalu bertanya dan mengetahui apa yang membuat hal itu berbeda. Sehingga prasangka negatif dan justifikasi sepihak tak sempat terlontarkan.
Meskipun ada Sebagian ulama yang membolehkan su'udzon dalam kasus dan keadaan tertentu, namun hal itu bukanlah legitimasi untuk kitab oleh berprasangka negatif pada orang lain. Dalam hal ini tak akan saya ulas, karena dalam artikel ini saya berfokus untuk mendedah betapa merugikannya sebuah tindakan prasangka negatif.
Sebenarnya tindakan menjustifikasi ini bukanlah hal baru dalam dunia yang tua ini. Tindakan justifikasi, prasangka, atau su'udzon sudah ada sejak awaal manusia diciptakan. Apa penyebabnya? Yaitu tertutupnya pemikiran seseorang terhadap maksud dan tujuan apa yang ada di balik sebuah peristiwa atau tindakan seseorang yang lain. Dalam hal ini, sekaliber Nabi Besar Muhammad SAW sendiri pun yang sudah pasti ma'shum (terbebas dari dosa) saja sempat menjadi korban dari prasangka.
Naifnya Prangsangka Sahabat pada Zaman Nabi
Bermula ketika pasca perang hunain yang begitu banyak mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang). Hasil yang didapat perang tersebut yaitu sekitar 6000 tawanan, 14 000 ekor unta, lebih dari 40.000 ekor kambing, dan perak sebanyak 4000 uqiyah. Jika dihitung valuasinya sekitar 1,747 triliyun
Hasil yang begitu besar pun sangat digadang-gadang oleh umat islam yang berkontribusi dalam perang melawan kaum hawazin. Dengan ekspektasi mendapatkan jatah ghanimah yang lebih besar saat pembagian sebab besarnya hasil rampasan yang didapat. Hal ini sudah menjadi ketentuan, bahwa tetara umat islam yang ikut perang mendapatkan sebagian seperlimanya dari harta rampasan.
Namun bayangan-bayangan harta besar pun patah akan kebijakan nabi muhammad SAW. Alih-alih beliau membagikan ghanimah sebagian besarnya hanya pada orang-orang muallaf pasca fathul makkah. Ekspektasi sangat jauh diluar dugaan sahabat terkhusus yang ikut dalam peperangan. Bahkan dari tetara golongan anshar tak mendapatkan sepeserpun dari ghnaimah tersebut.