Terdapat dua masalah gizi di Indonesia yang kerap kali didiskusikan dengan tema yang kontras, yakni stunting dan obesitas. Keduanya merupakan topik yang cukup akrab di telinga masyarakat. Namun, ada satu isu penting yang sering terabaikan, satu bagian dari beban malnutrisi yang dialami Indonesia, yakni defisiensi gizi mikro atau dikenal sebagai "Hidden Hunger". Isu ini mencakup kekurangan zat gizi berupa vitamin dan mineral penting yang berdampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, yang berkontribusi pada masa depan negara.
Defisiensi Zat Gizi Mikro: "Hidden Hunger" yang Tak Terlihat
Menurut WHO defisiensi zat gizi mikro adalah kondisi di mana tubuh kekurangan vitamin dan mineral penting, seperti zat besi, yodium, vitamin A, dan seng. Banyak orang mendefinisikannya sebagai hidden hunger, yakni kondisi lapar, akibat kebutuhan sel-sel tubuh, yang tersembunyi karena kondisi ini sering tidak menunjukkan gejala yang jelas, sehingga sering kali tidak terdiagnosis dan diabaikan.
Menilik penyebab dasarnya, permasalahan defisiensi zat gizi mikro tidak jauh dari masalah sosial, ekonomi, budaya, bahkan buah dari kebijakan yang dibuat pemerintah. Ketidakmampuan sebuah keluarga memberikan makanan bergizi layak, kerawanan pangan, dan kualitas diet yang masih rendah berkontribusi pada beban masalah gizi tersebut. Menyadur artikel dari Kompas yang dirilis pada Desember 2022, biaya yang diperlukan seseorang di Indonesia untuk membeli makanan dengan gizi seimbang adalah sekitar Rp 22.126/hari. Artinya, lebih dari 180 juta penduduk Indonesia tidak mampu memenuhi biaya tersebut untuk membeli makanan bergizi seimbang.Â
Ketidaktahuan dan pengabaian atas gejala yang tidak jelas terlihat turut menambah bahaya masalah ini. Padahal, dampaknya sangat besar terhadap tumbuh kembang anak-anak. Anak bisa tampak kurang sehat (lemas, pucat, dan sebagainya), prestasinya di sekolah menurun, dan tergganggu aktivitasnya secara keseluruhan sehari-hari. Pada orang dewasa, hal ini dapat tampak dari performa kerja dan produktivitas yang menurun. Masalah ini juga dapat berdampak pada perburukan kondisi mental seseorang.Â
Menurut Dr. Rini Sekartini, seorang ahli gizi dari Universitas Indonesia, defisiensi zat gizi mikro dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang serius, seperti anemia, gangguan perkembangan kognitif, dan sistem imun yang lemah. Ini adalah masalah yang harus segera ditangani karena dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa depan. Indonesia sedang mengalami bonus demografi yang dapat memberikan banyak dampak positif apabila dimanfaatkan secara maksimal dan masalah gizi ini tidak boleh dibiarkan merusak hal tersebut.
Kebijakan Pemberian Tablet Tambah Darah: Apakah Efektif?
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menangani masalah defisiensi gizi mikro ini, salah satunya adalah pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri. Program ini bertujuan untuk mengatasi anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi, sebuah kondisi yang umum terjadi pada remaja putri akibat menstruasi dan pola makan yang kurang seimbang. Anemia dapat menyebabkan kelelahan, konsentrasi menurun, serta berkurangnya daya tahan tubuh, yang pada gilirannya memengaruhi prestasi belajar dan produktivitas.
Namun, keberhasilan program ini sering kali hanya diukur dari jumlah tablet yang diberikan, bukan dari berapa banyak remaja yang benar-benar mengonsumsinya secara teratur. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kebijakan tersebut dalam jangka panjang.
Dr. Maria Endang S. Susilowati, seorang peneliti kesehatan masyarakat, menyoroti kelemahan kebijakan ini. "Pemberian tablet tambah darah adalah langkah yang baik, tetapi tidak cukup hanya dengan membagikannya. Penting untuk memastikan bahwa remaja benar-benar meminum tablet tersebut secara rutin. Ini memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk edukasi tentang pentingnya tablet tersebut dan pengawasan yang ketat."
Tantangan dalam Implementasi