[caption id="attachment_184365" align="aligncenter" width="300" caption="gegehare.blogspot.com"][/caption] Niat saya menulis muncul saat mendengar curhat seorang teman baik saya tentang sebuah harga diri yang "dipasung" karena masalah ekonomi. Menurut saya tema ini sangat menarik, karena kejadian macam ini banyak ditemui dimana-mana. Untuk pembahasan pertama, saya mencoba mencari pengertian tentang harga diri di mesin google, dan didapatlah 2 pengertian di bawah ini : Menurut Stuart dan Sundeen, harga diri adalah bagaimana seorang individu menilai seluruh kemampuan, kompeten, kerberhargaan dirinya sendiri apakah sudah sesuai standard ideal seturut versi individu tersebut. Sedangkan menurut Gilmore, yang sudah diterjemahkan dan ringkas, harga diri adalah penilaian individu terhadap kehormatan dirinya yang diwujudkan dalam bentuk prilaku terhadap dirinya sendiri. (baca selengkapnya di : http://belajarpsikologi.com/pengertian-harga-diri) Kemudian sekali lagi saya mencari tau dengan jari saya tentang pengertian terpasung, namun setelah saya cari di mesin ajaib google, saya tidak menemuka definisi yang jelas tentang arti terpasung itu. Akhirnya saya memutuskan untuk menelusuri melalui sinonim kata terpasung, dan didapatlah pengertian bahwa terpasung sama dengan terbelenggu, terjebak, terkekang, terkungkung, terkurung, terpenjara, terperangkap, tersekap, dan lain sebagainya. (baca selengkapnya di : http://www.sinonimkata.com/sinonim-148081-terpasung.html ) Dari dua pengertian diatas, akhirnya dapat saya simpulkan bahwa harga diri yang terpasung memiliki makna penilaian seorang individu terhadap kehormatan dirinya sendiri yang terpaksa dibatasi karena sebuah situasi yang melibatkan orang ketiga. Kisah yang saya tulis ini didasari dari kisah nyata yang setelah saya pikir dan renungkan ternyata banyak kita temui dalam kehidupan kita. Semalam saya ditelpon oleh salah seorang sahabat baik saya. Dia bercerita tentang kehidupan kakaknya yang "bagai kerbau dicocok hidungnya" oleh salah seorang temannya dikarenakan belum sanggup melunasi hutangnya. Sebut saja Adi, (bukan nama sebenarnya), kakak dari teman saya itu, berhutang kepada seorang wanita bernama Lisa (bukan nama sebenarnya pula). Adi yang saat ini sedang jobless alias tidak bekerja, benar-benar diperbudak oleh Lisa. Apapun yang dikatakan dan diperintahkan Lisa, seperti sebuah titah yang harus dipatuhi Adi, sebab jika Adi berani menolak, Lisa mengancam akan membawa masalah hutangnya ke ranah hukum. Suatu situasi yang benar-benar membuat Adi tidak sanggup untuk berkata TIDAK, terhadap apapun yang diinginkan Lisa. Kalau boleh diibaratkan, kehidupan Adi saat ini seperti seorang "BUDAK" dijaman modern. Dimanapun Adi berada, jika Lisa menelpon, dia akan segera datang. Sebab jika berani menolak, ancaman demi ancaman, terror demi terror harus dihadapi Adi. Sudah berulang kali dia berusaha untuk melepaskan diri dari jerat wanita itu, namun apa daya, hutang yang banyak, dan keadaan jobless, membuat dia akhirnya selalu menyerah dan jatuh kedalam lubang yang sama yaitu "perbudakan". Jangankan harga diri, bahkan berkehendakpun dibatasi. Jika Adi berkata "a" dan Lisa mau "b", maka "b" lah yang harus dijalankan. Sebagai seorang laki-laki, sudah pasti Adi merasa risih dan tersiksa dengan keadaan ini. Apalagi Lisa menunjukan "kekuasaannya" itu dihadapan teman-teman mereka seakan ingin menunjukan bahwa Adi adalah miliknya, kepunyaannya. Banyak orang yang mencibir melihat kelakuan Lisa, namun tak mampu untuk membela. Lisa merasa telah "membeli" hidup Adi saat dia meminjamkan sejumlah uang kepada Adi. Dari kisah nyata diatas, dapatlah saya simpulkan bahwa betapapun peradaan dunia maju dan berkembang, tetap saja tidak dapat merubah pola pikir sebagian manusia, bahwa uang dan kekuasaan diatas segalanya. Dengan uang, mereka pikir dapat membeli segalanya, termasuk sebuah harga diri yang sebenarnya adalah milik mutlak dari seorang individu yang tidak diperjualbelikan. Mungkin bagi kaca mata orang-orang tertentu, apapun di dunia ini dapat dibeli dengan uang dan kekuasaan. Namun ada satu hal yang mungkin dilupakan oleh orang-orang yang merasa diri memiliki segalanya itu, bahwa pada dasarnya setiap manusia tidak memilik apa-apa. Segala yang dimiliki hanyalah sebuah titipan dari yang Ilahi, yang setiap saat dapat diambilNya kembali, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Seharusnya ketika kita memberi "pinjaman" kepada orang lain, jangan pernah berpikir bahwa itu adalah tanda dari sebuah "pembelian harga diri". Tapi berpikirlah bahwa itu adalah salah satu cara kita "menabung harta di surga" dengan jalan menolong sesama. Dunia diluar sana berputar terus. Saat ini mungkin dia ada di posisi tertinggi, namun siapa yang dapat memprediksi 1 tahun kedepan, mungkin saja dia akan ada di posisi terendah. Tuhan tidak pernah tidur, walau hanya sekejap. Dia tidak mungkin salah dalam memberi rejeki kepada setiap umatNya. Dan satu hal yang terpenting, jika didalam hidup kita menabur kejahatan, niscaya kejahatan pula yang akan kita tuai. Demikian pula saat kita menabur kebaikan, maka kebaikan pula yang akan menjadi upah kita kelak. Andaikata pola pikir yang sempit dan terkesan kuno itu dapat diubahkan, maka niscaya kita akan menjadi orang-orang yang bahagia, karena selain menjalankan perintah untuk saling mengasihi, kita juga sudah mempersiapkan bekal "harta di surga" jika suatu saat kelak, kita dipanggil pulang oleh Sang Pencipta. Akhir kata, jika ada kesamaan kisah, nama ataupun jika ada kata-kata saya yang salah, saya mohon maaf. Saya hanya merasa terpanggil untuk menulis kisah ini karena dorongan hati agar supaya kita sebagai manusia yang beradab dan ber Tuhan, tidak melulu menilai segala sesuatu dari sisi materi, namun KASIH KEPADA SESAMA adalah yang UTAMA. Salam Perdamaian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H