Mohon tunggu...
Amar Abdillah
Amar Abdillah Mohon Tunggu... -

Seorang Ayah dengan satu orang puteri. Saat ini merantau di Kalimantan. Seorang penggiat Corporate Social Responsibility.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manasay yo Manasay

30 September 2012   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya hiburan jarang terjadi di sebuah pedalaman nan sunyi. Ketika sekali-kali ada hiburan, semesta warga berdatangan dari pelbagai penjuru desa. Salah satu acara peringatan itu adalah hari kemerdekaan di Bulan Agustus yang menjadi agenda hiburan rutin setiap tahunnya. Betapa beruntung bagi saya dapat menikmati tontonan lomba karaoke dan lomba joged selama 7 malam berturut-turut di sebuah desa yang sunyi di Kalimantan. Dan, bisa ditebak selama 7 malam tersebut, malam yang biasanya sunyi senyap menjadi hingar bingar oleh musik karaoke, malam yang gelap gulita karena listrik belum masuk di daerah ini menjadi terang benderang oleh lampu dari mesin genset yang dengan setia menerangi kemeriahan malam-malam peringatan kemerdekaan. Warga desa berjubel memenuhi lapangan bola di tengah-tengah desa. Semesta pun bergembira. Sehari sebelumnya kepala desa mengundang saya untuk turut serta dalam kemeriahan tersebut. Dan, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak hadir bukan. Hei! Kesempatan untuk menikmati kemeriahan malam peringatan kemerdekaan bersama-sama warga desa akan menjadi malam yang amat menyenangkan. Dan ternyata saya tidak salah untuk memutuskan datang. Malam pertama kemeriahan tersebut diawali dengan salah satu tarian adat dayak. Pada awalnya saya memastikan diri sebagai penikmat saja acara tersebut, akan tetapi teriakan sang host acara berkali-kali agar perwakilan perusahaan turut menari membuat saya tersentuh untuk ikut serta. Sedikit malu-malu saya dituntun kepala desa masuk arena tari. Ah! ratusan pasang mata mendorong saya untuk dengan segera masuk arena tari. Beruntungnya saya tidak sendiri, beberapa rombongan anak baru gede dengan semangat masuk arena juga. Dan! Tunggu dulu. pejabat desa sudah duluan ternyata. Lumayan banyak lah. Tapi ternyata arena tari belum cukup penuh untuk menahan serombongan ibu-ibu dan nenek-nenek yang dengan senyuman indah mereka melangkah memasuki arena. Oh! Nenek-nenek ikut serta juga. Betapa sempurnanya malam ini, saya mengira acara ini khususon untuk anak muda. Jadi, lengkaplah sudah arena ini dipenuhi para peserta tari dadakan. Saya celingukan menyadar-nyadarkan diri kalau saya bisa menari dengan indah jelita. Beruntungnya sang kepala desa menyemangati saya agar menari dengan riang dan memastikan bahwa tariannya itu mudah. Lalu, mulailah musik adat dibunyikan. Dimulailah tarian Manasay, sebuah tari untuk kebersamaan. Gerakan tari pun dimulai. Dengan canggung mata saya memutar mencari tokoh tari jempolan dari setiap peserta. Maksudnya, kalo ada tarian yang bagus, akan saya contek. Namun, ajaibnya pandangan mata pertama saya tertuju pada sang kepala desa yang tinggi tegap bak seorang tentara. Goyangan tari sang kepala desa ini jauh dari kesan penari yang indah gemulai sempurna, yang ada adalah tarian khas poco-poco khas tentara. Oh! Saya merasa berada di daerah timur Indonesia. Akhirnya saya memutar arah lagi mencari tokoh tari idola lainnya. Pandangan kedua tertuju pada nenek yang berada tidak jauh dari tempat saya berdiri. Gerakannya agak sedikit asing tapi menarik hati saya. Gerakan nan ritmis dan penuh penghayatan nampaknya. Amboi!. Mungkin nenek tersebut penari pada saat mudanya, tapi saya tidak bisa meniru gerakan sehebat itu. Anak baru gede yang berada di seberang saya bergerak dan bergoyang dengan riangnya. Tangan dan kaki serta goyang pinggul demikian beraneka, mengingatkan saya pada gerakan tarian modern Yuanita temanhost Choky Sitohang yang saya kagumi gerakannya. Ah! susahnya gerakan mereka. Saya harus menentukan sikap mau mencontoh gerakan yang akan dipilih. Akhirnya dari sekian banyak pilihan saya lebih memilih gerakan sang kepala desa yang mirip gerakan tari tentara. Semoga jepretan kamera tidak mengenai saya disaat kondisi gerakan tari tidak seirama dengan musik. Tari Manasay akhirnya masuk dalam daftar tarian idola saya. Tarian yang secara bersama-sama dilakukan oleh orang banyak dengan gerakan bergoyang, berjalan ritmis memutar dan beriringan menandakan kebersamaan yang harus senantiasa terjalin diantara semua orang. Keberanekaan tidaklah menjadi penghalang untuk melakukan kegiatan bersama-sama. Itulah tarian manasay yang apabila saya diminta untuk menari lagi, saya akan katakan “Saya siap!“. Ketika menjadi penggiat comdev di Riau dahulu, saya menyempatkan memakai pakaian melayu “teluk belanga“. Pakaian khas laki-laki yang dipakai ketika upacara-upacara khusus adat maupun pemerintahan. Pakaian tersebut dipadupadankan dengan kain sarung yang dilipat di pinggang, peci hitam dipakaikan di kepala, rambut hitam saya sudah diberi minyak terlebih dahulu dan sudah disisir dengan rapi jali sebelum memakai peci. Bak seorang bangsawan kerajaan melayu, saya mematut-matut diri di cermin untuk melihat kegagahan saya berpakaian melayu. Ketika acara-acara resmi, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan tari persembahan melayu. Inilah salah satu tarian yang menjadi pavorit saya. Mata saya akan terus mengikuti setiap gerakan penari yang sangat indah. Saking terpesona dan menikmati rentak gendang, gemulai tarian serta lagu dengan cengkok khas melayu akhirnya saya memborong beberapa kaset lagu melayu. Bersentuhan dengan adat istiadat serta kesenian di suatu wilayah akan senantiasa dirasakan oleh para penggiat community development. Bukankah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dan disinilah salah satu letak keistimewaan seorang penggiat community development, dimana bekerja secara lintas adat, lintas budaya dan lintas agama. Keberadaan adat istiadat di suatu daerah dengan seperangkat kelembagaan dan aturan-aturannya tidak boleh disepelekan. Keberadaannya beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya perusahaan ketika budaya perusahaan dapat berasimilasi dengan tatanan nilai adat istiadat setempat. Akan tetapi juga dapat menjadi batu penghalang ketika norma adat tidak dihormati. Amar Abdillah Penggiat Corporate Social Responsibility pada Astra Internasional Group Pemilik www.itsibitsy.com – Pusat barang unik No 1 di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun