" Dulu ada yang bilang padaku
Jarak cinta dan nafsu hanya setipis kertas
Cinta berbuah nafsu
Itu setan"
"Ama... kamu masih disana, kan?"
"Iya..." Jawabku datar.
"Kamu mau kan? Abang janji akan membahagiakanmu, kamu adalah wanita yang paling abang cintai, abang tidak bisa hidup tanpa kamu sayang... Hal ini telah abang pikirkan dan pertimbangkan masak-masak, abang akan menanggung segala konsekuensinya, asalkan abang bisa hidup dengan kamu. Kalau Ama memang mencintai abang, abang harap Ama tidak menolak tawaran abang ini..."
Belum sempat aku merespon perkataannya yang mengagetkan itu, kudengar bunyi ketukan keras dari luar pintu.
"Nanti Ama hubungi abang lagi ya, Astrid udah mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi ini. Ga enak kalau Ama terlalu lama di dalam, nanti dia curiga. Udahan ya"
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mematikan telepon tersebut dan membuka pintu. Kulihat Astrid yang terbengong melihatku, mungkin dia heran melihat mataku yang sembab. Aku tak ingin memberinya kesempatan untuk merasa prihatin atas keadaanku, karena sesunggunya aku sedang tak ingin membahasnya dengan siapapun.
Dengan bergegas aku kembali ke meja kerjaku. Terduduk dan terkulai lemas... Ini gila... Bagaimana mungkin dia bisa berpikir untuk mengajakku lari bersamanya? Dia bilang penempatannya kerjanya di Pontianak dan ingin memulai hidup baru disana bersamaku? Apa dia sudah gila? Aku ini wanita bersuami, tak sadarkah dia tentang hal itu?