Mohon tunggu...
amang ikak
amang ikak Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi paman yang baik bagi keponakan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seni mengemis

27 Juni 2011   13:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari belumlah muncul, ayam jagopun masih malas untuk naik keatas rumah, diatas genting untuk sekedar mengepakkan sayapnya dan memekikkan suara lantangnya, dia lebih suka bersanding dengan babon gemuk, terbalut bulu bulu putih yang sedang mengerami telurnya. Dasar jago pemalas, dengan dalih kesetiaan justru meninggalkan kewajiban, tidak mau keluar di pagi hari walau hanya untuk mencari sarapan.

Berbeda dengan ku, meski hanya seorang pengemis aku selalu bangun dan berangkat pagi. Karena aku merasa rejekiku akan dipatok ayam jika terlalu siang beraksi, yah meski aku tau ayam jaman sekarang jauh lebih males dari ayam jaman dulu. Selain itu, Mengemis sekrang butuh strategi dan perencanaan yang matang, selain memaksimalkan hasil ngemis dan tentunya untuk mengantisipasi pencidukan oleh aparat keamanan.

Terkadang aku heran, kenapa aku yang hanya mengharap uluran dermawan selalu dikejar kejar. Ditangkap dan perlakukan tak ubahnya binatang piaraan, padahal tidak jauh lebih merugikan dari pencuri berdasi itu. Aku tidak memaksa, tidak mencuri dan ikhlas menerima berapapun yang diberikan, tapi kenapa mereka yang berdasi itu, yang telah melarikan uang rakyat begitu banyaknya justru bebas dan asyik pergi keluar negeri, kalau pun tidak bisa menangkapanya mbok ya minimal dikejar kejar biar capek dan menyerahkan diri.

Namun disana ada juga diantara pengemis yang terkadang mengancam atau memaksa korbanya, dengan memasang wajah garang atau dengan sedikit mengganggunya. Maka aku katakana itu hanya ulah segelintir oknum pengemis yang tidak bertanggungjawab, tidak mengindahkan kode etik pengemis. Dan keberadaan mereka memang sangat meresahkan, bukan hanya bagi masyarakat tapi juga pada kami para pengemis yang masih memegang kode etik pengemis, terkadang kami terkena imbas dari ulah mereka, berupa pengusiran, penangkapan atau hanya umpatan dan do’a kejelekan.

***

Dinatara strategiku dalam mengemis adalah memilih lokasi yang basah, bukan basah karena air hujan dari atap pasar yang bocor atau rembesan air dari pipa PDAM yang lobang, tapi basah yang maksudnya banyak dermawan yang akan memberikan sedikit hartanya. Maka aku memilih pasar tradisional yang terkesan kotor, becek, bau dan penuh sesak antara penjual dan pembeli. Karena disana lebih banyak manusia yang memiliki hati, meski dompetnya hanya berisi uang secukup belanjaan untuk sehari, namun dengan kebesaran hatinya mereka masih menyisakan sedikit untuk kami.

Contohnya dipasar pagi, pasar tradisional yang telah dibangun oleh pemkot pangkalpinang, meski terkesan rapi dari kejauhan, namun masih sangat kumuh dan kotor jika didekati. Maklum berjubelnya penjual, dan perencanaan pembangunan yang kurang tepat, kurangnya saluran pembuangan air menjadikan keramik becek dan kotor. Belum lagi lampu yang sering kali padam, sehingga membuat pembeli dan penjualsangat kurang nyaman.

Dan diantara strategiku yang lain adalah tidak mengemis di MALL, PUNCAK, BTC dan sejenisnya. Meski terkesan elit, ber -AC , justru disana sangat minim manusia berhati emas, yang ada malah pandangan sinis, langkah kaki kesombongan dari pengendara roda empat. Mengemis disana lebih banyak mendapat cuekan, cacian dan hinaan. Belum lagi was was pengusiran dan penangkapan dari satpol PP atau petugas keamanan MALL.

***

Pagi mulai bergeser, matahari mulai memancarkan teriknya dan akupun telah beraksi dengan berbagai ekspresi untuk mengait hati pengunjung pasar. Dalam berekspresi aku selalu melihat trend masyarakat yang lagi hangat, meski sebenarnya cara cara ini sudah lazim dipake oleh para pengemis, seperti pura pura cacat kaki dangan luka borok yang bernanah, atau pura pura buta dengan di tuntun seorang anak kecil yang dekil, tinggal pintar pintar menyesuaikan acting sesuai keadaan.

Dan terkadang aku berlagak alim, pake baju koko belel, peci hitam kusam sambil komat kamit membaca ayat al-Qur’an dan do’a kebaikan . Padahal akupun ga tau apa arti ayat dan do,a yang aku baca, munkin karena terlihat saking serius dan khusuknya banyak saja mereka yang menruhkan recehanya.

Namun aku sadar, mengemis bukanlah profesi yang baik, tapi aku tetap merasa lebih baik ketimbang harus mencuri atau mengambil harta orang lain. Terlebih jika mengingat orang berdasi itu….ahh…ngemis ajalah…!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun