Puluhan tahun lalu, daerah-daerah tersebut mengalami masa kejayaan berkat hasil kakao yang melimpah. Beberapa kali mengalami musim panen raya.
Akan tetapi hampir satu dekade terakhir, produktivitas sudah berangsur-angsur menurun bahkan tidak pernah lagi mengalami panen raya.
Semuanya mengeluh bahkan hampir depresi akut, jika melihat keadaan tanaman kakao yang ada, sudah kehilangan produktivitas.
Dari beberapa kajian yang ada, beberapa persoalan pokok sebagai penyebab runtuhnya produktivitas kakao yakni:
Pertama, serangan hama dan penyakit yang masif terhadap tanaman kakao dan keterbatasan sumber daya petani dalam mengambil tindakan pencegahan dan pemberantasan.
Hal ini tentu berimbas pada ancaman gagal panen serta penurunan pada kualitas biji kakao.
Kedua, sebagian besar tanaman kakao yang ada sudah berumur artinya sudah melampaui masa produktivitasnya.
Dalam hal ini, pengetahuan dan pengalaman petani terkait pembudidayaan yang intens masih terbatas. Masih tampak pengolahan tanaman yang masih mentok pada paradigma lama yakni sepenuhnya bergantung pada alam.
Dua problem tersebut secara kuat merupakan alasan dibalik kegelisahan para petani kakao, khususnya dalam menyambut informasi harga yang melonjak saat ini.
Para petani hanya bisa bergeming dengan kenyataan harga yang menggiurkan tersebut.
Beberapa petani akhirnya dengan segala keterpaksaan coba memanen buah yang tersisa bahkan yang sudah terinfeksi penyakit sekadar 'hiburan' demi menyambut harga yang tinggi tersebut.