Maka tidaklah heran bila menjelang memasuki pekan suci (sebuah pekan perayaan katolik untuk menunaikan tiga hari suci yakni Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci) semua umat tampak sibuk dengan latihan koor bersama.
Sebagaimana dalam konteks kami sebagai umat Nasrani di pedesaan, hampir setiap hari selalu melaksanakan latihan koor bersama.Â
Semuanya terlibat aktif mulai dari anak-anak sekolah hingga orang-orang tua yang dibagi ke dalam empat suara yakni sopran, alto, tenor dan bas.
Dalam nuansa sukacita dan kebersamaan yang tinggi, semuanya rela rehat sejenak dari rutinitas masing-masing untuk bersama-sama  mengulik notasi lagu perayaan yang ada.
Uniknya, rata-rata dari setiap peserta yang ada nihil akan pengetahuan musik, ataupun sedikit ada namun tidaklah sekaliber dengan musisi atau komposer terkenal seperti Adi Ms dan lainnya.
Kami semua selalu berangkat dari keterbatasan dan kekurangan, hanya bermodalkan do, re, mi, fa, sol, la, si, do saja.Â
Notasi inilah yang menyatukan kemampuan kami dalam menyanyi. Mau sesulit apapun lagu yang ada jika disematkan dengan notasi dan irama yang jelas maka semuanya akan dimudahkan.
Selain memiliki nilai kebersamaan juga secara tidak langsung memiliki unsur edukasi khusus bagi anak-anak sekolah untuk belajar dan mengembangkan bakat mereka dalam bidang seni tarik suara.
Hampir sebulan sudah, kami berlatih dan bernyanyi bersama, kini tinggal menunggu hari perfomnya nanti khususnya pada hari Jumat Agung nanti. Hari dimana Kristus mengalami sengsara dan wafat di kayu salib.
Sebab di hari inilah, Kelompok Basis Gerejawi kami yang bernama Santa Maria-Herang, akan tampil sebagai paduan suara. Tentunya dengan lagu-lagu yang bernuansa kesedihan dan duka.
Namun, sekali lagi paduan suara dalam konteks Gereja tentu bukanlah ajang kompetisi untuk meraih Nobel. Tujuan hanya satu yakni membawa suasana liturgi perayaan sungguh bermakna.