Bulan Maret sudah sangat identik sebagai bulan religius di Indonesia.Â
Yang mana ditandai dengan adanya prosesi keagamaan yang dilakukan oleh beberapa agama besar di Indonesia, yakni bagi masyarakat Muslim, bulan Maret menjadi bulan puasa  menyambut ramadhan lalu bagi masyarakat yang beragama Kristen dan Nasrani, bulan Maret juga menjadi bulan puasa seraya menyongsong masa paskah.
Khusus bagi masyarakat Nasrani, hal imperatif dari masa puasa adalah sebagai simbol penghayatan iman yang historik yakni sebagai wujud dari pengambilan bagian dalam sengsara dan wafat Yesus Kristus sang Juru Selamat yang diterima dan dialami langsung secara pribadi juga dirayakan secara komunal atau kebersamaan.
Adapun puncaknya nanti adalah pada hari raya Paskah atau hari kebangkitan Kristus dari alam maut.
Tentu secara teologis, perayaan ini bernilai sangat fundamental dimana Yesus sebagai sosok iman dan ajaran-Nya menjadi simbol kesejatian hidup bagi para pengikut-Nya. Bahwa penderitaan dan kebangkitan adalah sebuah keniscayaan.
Perayaan Paskah sejatinya dikenal sebagai perayaan yang penuh semarak dan sukacita. Kemenangan Kristus akan maut serta cahaya kebangkitan yang ditandai oleh terang lilin paskah nanti menjadi dasar akan kesukacitaan itu. Dan hati umat serentak menjadi istana kemegahan Kerajaan Allah.
Oleh karena itu, agar suasana sukacita itu benar-benar mengalir ke lubuk hati, mesti diimbangi dengan seremoni paskah yang meriah. Salah satu bentuknya adalah melalui madah haleluya yang selalu didendangkan lewat kelompok paduan suara atau koor.
Hal ini sejatinya telah disematkan lewat pepatah Latin Kuno yakni "Qui Bene Cantat Bis Orat" atau dalam bahasa Indonesianya yakni: bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali.
Dengan begitu maka, kunci dari kemeriahan paskah ialah bagaimana suasana liturgi yang tercipta terutama lewat alunan suara para paduan suara saat perayaan benar-benar mengalirkan suasana sukacita kebangkitan.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka dibutuhkan persiapan yang matang.