Ketika si jago mulai memainkan paduan pagi, saat itu juga ibu mulai membuka mata harapan dan segera bangkit dari kamar sunyi nya menuju tungku harapan. Di tungku api itulah, ia mulai menggoreskan kisah sederhana namun sangat bermartabat.
Mula-mula ia mengumpulkan potongan-potongan kayu bekas bakar kemarin, kemudian menyalakan api di atasnya melalui sepotong karet sandal yang telah disediakan untuk menyalakan api. Ia harus menunggu beberapa saat memastikan semua kayu sudah menyala.
Lalu, ia mulai menakar beras dengan gelas kecil seturut jumlah anggota rumah. Ada bapak sama cucu yang masih mendengkur di atas ranjang tidur. Ia memastikan takarannya tidak kurang. Tiga setengah gelas sudah cukup untuk mengganjal isi perut dari ketiganya.Â
Entah kenapa ia mesti menakar lebih. Barangkali dalam benaknya ia selalu berharap lebih baik lebih daripada kurang. Atau ia tidak mau harapannya selalu berkurang dalam diri anggota keluarganya.
Dalam sebuah periuk mungil yang nampak kusam, ia meleburkan beras dengan air yang sudah terukur. Dan di atas api yang sudah menyala ia menaruh periuk mungil itu hingga menjadi sebuah nasi yang matang dan enak.
Bunda benar-benar sabar mengatur tungku apinya agar tetap menyala hingga nasi seperiuk mungil benar-benar matang.
Itulah bunda. Ia selalu menjadi simbol permulaan dari kehidupan. Darinya kehidupan mekar dan terus berbuah. Ia bagaikan gerbang masuk segala harapan dan mengalirnya kehidupan.
Itulah mengapa ia selalu menjadi penghuni pagi yang ulung. Menata harapannya agar terurai rapih menjadi tenunan kehidupan yang berharga. Ia menjadi kunci pembuka kehidupan sebelum segala sesuatu terbentuk.
Dan di atas tungku apinya, harapannya terus menyala. Tungku api menjadi saksi bisu semua kemahamuliaan kasih sang bunda. Ia menjadi simbol dari kematangan kualitas hidup yang sejati yaitu cinta dan kebijaksanaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H