Kok lucu? Bukannya ini sesuatu yang sangat miris. Demikian batin saya mengusik. Saya yakin, dari latar belakang asalnya, si Mbak mungkin baru menemukan kondisi pertanian yang demikian. Ia mungkin membandingkannya dengan system pertanian di tempatnya. Bagaimana para petani dengan lahan sempit mampu memetik hasil yang berlimpah-limpah. Bukan malah sebaliknya.
Sekejap batin saya bergejolak. Ada sekian pertanyaan yang muncul. Menyangkut persoalan pertanian ini sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab? Di manakah fungsi tugas para petugas pertanian lapangan? Apa yang membedakan para petani kampung dan petani di tempat lainnya di Indonesia ini, sementara kita ini terkenal sebagai negara agraris? Siapa yang berani menyerahkan pipinya ditampar demi penyamarataan system pertanian di Negara ini? Lalu Siapa yang mau disalahkan oleh si Mbak mengenai pola pertanian tradisional di kampung?
Para petani kampung hanya bisa menertawakan keadaannya, sembari membungkus harapan yang banyak pada yayasan itu, demi suatu pencerahan dan perubahan.
Dalam agenda yang dibeberkan, mereka akan terus mendampingi warga, mulai dari A-Z terkait budidaya tanaman vanili tersebut. Mulai dari berbagi ilmu dasar kemudian dilanjutkan dengan praktek hingga benar-benar tuntas. Akan tetap mesti dibarengi dengan doa agar harapan itu tersampai.Â
Akhirnya, tolong bagikan kami kail untuk menangkap kesuksesan kami sendiri. Sekaligus obat racun untuk membasmi predator yang telah "memangsa ikan milik kami" selama ini. Begitu kira-kira pesan di balik tertawa warga yang hadir saat itu.
Salam pertanian kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H