Pada tahun 2018 silam, saya pernah melakukan sebuah penelitian kecil tentang gender di NTT. Hal ini saya lakukan semata-mata demi merampungkan skripsi saya yang mengangkat tema tentang bagaimana upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap perempuan di NTT yakni melalui rekonstruksi gender.
Dengan melihat fakta maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di NTT yang terjadi hampir setiap saat dengan berbagai motif yang dilakukan. Baik itu kekerasan fisik, verbal, psikologis maupun seksual.
Peneliti Dewi Indah Susanty dan Nur Julqurniati dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencatat peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah NTT, dari 384 kasus pada 2016 menjadi 604 kasus pada 2017. Dari 604 kasus tersebut, 355 di antaranya terjadi di lingkup rumah tangga, termasuk KDRT. Sumber: magdalene.co
Semuanya seakan-akan mempertegas konstruksi bahwa perempuan itu adalah makhluk nomor "dua" dalam masyarakat yang patut untuk mengalami tindakan ketidakadilan dan kekerasan.
Maka, betapa urgennya konstruksi gender yang merendahkan posisi perempuan di tengah masyarakat tersebut harus dirubah menjadi gender yang egaliter atau setara. Begitulah sintesis dari skripsi saya kala itu.
Konstruksi masyarakat NTT tentang gender yang memandang perempuan sebagai warga kelas "dua" dalam masyarakat sejatinya tidak terlepas dari membatunya system budaya patriarki dalam masyarakat.
Sebab dari pola budaya demikian, masyarakat NTT kerap mendefinisikan perempuan sebagai seorang pribadi yang sejak kecil sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menjadi calon istri atau calon ibu rumah tangga.
Kriteria tersebut diwujudkan dengan kesanggupan mereka untuk mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak.
Selain itu perempuan selalu dikaitkan dengan kehidupan domestic rumah tangga. Mereka diberikan peran untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga seperti memasak, menyapu, merawat dan mengasuh anak.Â
Segala pekerjaan demikian dianggap sebagai cermin kepribadian diri perempuan dan sekaligus melegitimasi perempuan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat halus. (bdk. Bernard Hayon, Psike Perempuan dan Perilaku Kepemimpinannya, Ende: 2002).