Jauh sebelum aku begitu sungguh mengenalmu, lekas rupamu telah bersemayam di atas semerbak  suci semesta.
Dan sebelum aku begitu nian mengarungi semua ruang untuk mengagumimu,
engkau sungguh indah nan elok. Bagaikan surga yang nyata dalam seluruh indera manusiawiku.
Pesonamu, bagaikan melati yang pantang layu sebelum harum mewangi,
engkau berhasil menyempurnakan warna pelangi di mataku, sebelum akhirnya sirna ditelan petang.
Ketika aku adalah penghuni senja yang selalu menantikan kabar tentang dirimu, dan engkau ibaratkan cakarawala yang bermekar di pelupuk mataku. Aku tahu betapa sulitnya engkau kujamah, namun setidaknya aku sudah memilikimu walaupun hanya dalam angan dan ingin semata. Inilah rahasia diriku yang semestinya aku bongkar.
Terlalu enggan bagiku untuk melewati apa yang kusebut indah itu,
sedangkan engkau mungkin kembali bersembunyi ke dalam kuncup rahasia dirimu sendiri. Dan aku tak tahu caramu membongkarnya seperti rahasia diriku sendiri.
Tentang kesungguhanku untuk mendekapmu, sungguh tak semudah merangkai sebab dalam sekian alasan yang selalu memenuhi bias kerinduanku.
Tetap saja aroma bayanganmu selalu  mengirimkan kabar harapan kepadaku,
agar lekas bagiku untuk meraihmu sekalipun jauh di atas kelopak takdir yang melangit.
Mungkin saja harus terkatung-katung untuk merangkulmu seerat pelukan cakrawala lalu memintanya pada langit agar bersama awan putih engkau akan tahu rahasia diriku yang tak pernah berhenti untuk mengagumimu.
Sampai nanti, kita benar-benar paham bahwa takdir itu adalah kita.
Labuan Bajo, 2 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H