Kita pandai berandai-andai,
bila langit sedang gelap, kita menebak matahari sedang redup
atau manakala langit sedang menanti tetesan-tetesan beku menjadi remah-remah dedaunan kering,
atau petir yang datang lebih awal, tanpa harus menyalami guntur,
atau pantai yang tak pernah usai diceburi oleh ombak
lalu kita mengira, para nelayan segera berpulang atau para saudagar telah pergi
dan kita menunggu saja waktu yang tepat untuk tidak berlayar lagi.
Kita pandai bermain durasi,
bila pagi sedang menjelang, kita menyangka mentari akan silau dari mata seorang bayi,
atau bila kita melihat daun kering yang sedang berguguran, kita menyangka akan ada ranting yang patah, atau tunas baru akan muncul kembali,
Atau bila senja sedang meranum, kita menyangka hari sudah tidak sempurna lagi
sedangkan angin mulai bermain jarak dengan terang yang tak lagi terlihat
atau celotehan jangkrik yang terdampar pada semak-semak sunyi di tepi malam,
 seakan-akan memaksa nyawa yang lama terdampar pada bongkah yang kaku,
Lalu kita mengelak, bahwa keheningan tak lagi menanti.
Namun sebenarnya, kita selalu menyangkal bahwa kita sebenarnya sedang menghitung hari yang tak tersampai,
Sebab kita belum mencatat hari di mana akan datang pagi yang tidak lagi terbit, atau tetesan embun yang tak lagi mewujud di atas talas yang melengkung, atau sungai yang tak lagi merindukan muara, atau angin yang tak lagi mencubit bunga-bunga yang indah di taman
Sebab yang tertinggal hanyalah bayangan pada penantian.
Labuan Bajo, 30 November 2020 (masa Adven)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H