Perkembangan teknologi digital dengan segala kompleksitasnya masing-masing telah merambah ke seluruh ranah kehidupan manusia. Hal ini menjadi salah satu bukti berkembangnya peradaban manusia di era kontemporer.
Kita patut mengakui bahwa representasi media sosial sangat memudahkan manusia dalam hal berkomunikasi tanpa mengenal batas.
Setiap orang mampu menciptakan beraneka ragam informasi secara cepat dan efisien, juga dapat membagi atau menukarkan informasi atau berita yang terjadi disini dan kini (hic et nunc) dengan mudah. Informasi dijadikan komoditas yang produktif dan dapat dipertukarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat daring (dalam jaringan) tanpa batasan kelas dan hierarki dalam masyarakat.
Kemudahan tersebut membuat media sosial sebagai media yang fleksibel dan instan karena semua informasi yang ada bersifat sementara, mudah datang dan mudah pergi, mudah diingat dan mudah dilupakan.
Namun, perlu diketahui bahwa di dalam ruang digital khususnya media sosial, tidak ada urutan zaman, status sosial serta hierarki nilai. Satu atau banyak sulit diputuskan karena setiap pengguna media sosial bisa memiliki banyak (ribuan) pemirsa. Naiknya hierarki hanya sejauh satu klik saja dan mengandung provokasi.
Mayoritas para pengguna media sosial telah banyak menonjolkan sensasi bukan rasionalisasi. Berbagai macam kreativitas ditampilkan asalkan bersifat sensasional.
Sedangkan sedikit pula dari antaranya yang memanfaatkan media sosial sebagai penyalur ikatan sosial-virtual dan komunitas kerja sama atau dalam istilah Marx yakni sebagai medium kerja sama sosial. Dalam hal ini setiap orang membentuk komponen sistem yang dipersatukan melalui media komunikasi sosial daring.
Revolusi digital yang ditandai dengan maraknya media sosial yang tercipta pada dasarnya bertujuan untuk meraih kebebasan baru.
Namun dalam realitasnya, kebebasan baru ini berhasil menegasikan kendali dan pengawasan moral sebagaimana dalam komunikasi korporeal. Kebebasan yang melambung jauh justru mendorong setiap orang mendapati dirinya sebagai hakim dan tuhan atas yang lainnya.
Salah satu contoh dari praktik kebebasan baru yang menyesatkan tersebut adalah aksi penyebaran berita bohong atau hoaks.
Data Kemenkoinfo mencatat bahwa hingga kini ada sekitar 800.000 situs di Indonesia telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.