Pertambangan batu bara masih memiliki dampak yang signifikan bagi lingkungan di sekitarnya akibat dari kurangnya solusi inovatif untuk mengurangi dampaknya bagi ekosistem. Hingga saat ini, banyak orang di berbagai belahan dunia yang menggantungkan hidupnya pada industri batu bara. Hal tersebut dikarenakan banyaknya industri yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi tanpa adanya energi alternatif yang mendukung. Pembakaran batu bara yang dilakukan menghasilkan gas CO2 yang menjadi penyumbang terbesar dalam fenomena pemanasan global yang sedang terjadi. Ditambah lagi dengan adanya emisi metana yang memengaruhi iklim dunia melalui efek rumah kaca yang dihasilkannya.
Pertambangan batu bara masih menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang di seluruh dunia. Di Indonesia, batu bara merupakan salah satu sumber daya mineral dan energi potensial terbesar yang dimiliki oleh negara. Sumber daya batu bara dapat ditemukan pada 20 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi sumber daya terbesar di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, yang secara keseluruhan menyumbang 82% dari total sumber daya batu bara di Indonesia (Fitriyanti, 2018). Ketersediaan batu bara di berbagai daerah Indonesia mendorong peningkatan produksi tahunan yang menjadikan batubara sebagai komoditas dominan di subsektor pertambangan dan salah satu sumber energi utama bagi sektor industri. Selama satu dekade dari tahun 2009 hingga 2018, produksi batubara di Indonesia mengalami peningkatan signifikan yang tercermin dari jumlah produksi batubara pada tahun 2018 yang mencapai 557 juta ton (Suharyati dkk., 2019). Peningkatan produksi batu bara tersebut menciptakan peluang pekerjaan yang memberikan dampak signifikan terhadap pasar tenaga kerja. Di Kalimantan Timur, terjadi kenaikan dalam jumlah pekerja di sektor pertambangan batubara dari tahun 2018 ke tahun 2019 dengan sekitar 6-10% dari keseluruhan angkatan kerja yang tersedia bekerja di tambang batu bara (Perdana, 2021).
Hingga saat ini, batu bara masih menjadi sumber energi utama bagi banyak industri karena belum adanya energi alternatif yang dapat menggantikan peran batu bara sepenuhnya. Industri kelistrikan atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan salah satu industri yang bergantung pada batu bara dan menjadi pengguna terbesarnya. Hal ini didasari oleh peningkatan permintaan listrik yang semakin tinggi di saat ketersediaan bahan baku utama terbatas. Indonesia telah mengambil langkah pengembangan energi terbarukan dan peningkatan penggunaan gas alam. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi merupakan bentuk komitmen konkret Indonesia dalam mencapai target Net Zero Emission melalui percepatan penggunaan energi terbarukan. Namun, meskipun upaya ini telah dilakukan, efektivitasnya masih dalam tahap pengembangan dan implementasi. Isu-isu terkait biaya dan ketersediaan tetap menjadi tantangan besar dalam transisi menuju energi terbarukan dan gas alam sebagai pengganti batu bara dalam industri pembangkit listrik.
Pembakaran batu bara di PLTU menjadi salah satu kontributor utama emisi CO2 saat ini. PLTU secara signifikan berkontribusi pada emisi CO2, bahkan menjadi penyumbang utama emisi karbon dioksida di dunia dengan menghasilkan 33.9 gigaton emisi karbon dioksida pada tahun 2020 (Azmi dkk., 2022). Emisi CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi pada pemanasan global. Tingginya volume emisi CO2 dari pembakaran batu bara berperan dalam peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Saat ini, diperkirakan bahwa sekitar sepertiga dari emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pembangkit listrik (Nuraini & Lubis, 2007). Gas-gas ini memperkuat efek rumah kaca, mengakibatkan penahanan panas di atmosfer dan berkontribusi pada peningkatan suhu global. Studi ilmiah menegaskan bahwa kenaikan suhu ini dapat menyebabkan perubahan cuaca yang ekstrem, perluasan gurun pasir, punahnya flora dan fauna tertentu, meningkatkan tingkat intensitas badai, banjir, serta kekeringan di berbagai wilayah (Rahmadania, 2022).
Emisi metana dari penggunaan batu bara menjadi faktor penting dalam menghasilkan efek rumah kaca yang memengaruhi iklim global. Selain karbon dioksida (CO2), metana (CH4) juga terlepas selama proses pengolahan dan penggunaan batu bara, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil daripada CO2. Namun, efektivitas metana dalam menahan panas di atmosfer terbukti 25 kali lebih kuat dibandingkan CO2 (Slamet, 2001). Kemampuannya ini menjadikan metana sebagai gas rumah kaca yang sangat berpotensi dalam memengaruhi iklim. Penumpukan metana di atmosfer berdampak pada kenaikan suhu global yang dapat mempercepat perubahan iklim dan berkontribusi pada pencairan gletser, kenaikan permukaan air laut, serta perubahan pola cuaca yang ekstrem (Pratama, 2019). Permasalahan ini menjadi topik yang penting karena emisi metana dari tambang batu bara akan terus berlanjut di masa depan. Meskipun upaya pembatasan penambangan batu bara telah dilakukan, metana masih akan terus dihasilkan oleh tambang yang sudah tidak beroperasi.
Industri pertambangan batu bara telah memberikan pengaruh besar pada lingkungan sekitarnya karena kurangnya solusi inovatif dan efektif untuk mengurangi dampaknya terhadap ekosistem. Meskipun batu bara merupakan penyokong dan pendorong ekonomi serta kehidupan bagi banyak orang di berbagai daerah, dampaknya terhadap lingkungan masih menjadi isu penting yang perlu perhatian lebih. Pembakaran batu bara, khususnya di PLTU, menjadi penyumbang besar emisi CO2 dan metana, yang berkontribusi pada pemanasan global, perubahan iklim, dan menghadirkan berbagai masalah lingkungan yang serius. Dalam menghadapi tantangan ini, upaya transisi ke energi terbarukan dan solusi inovatif menjadi semakin mendesak untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan iklim global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H