Mohon tunggu...
KUA Siantar
KUA Siantar Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa AFI

UINSU

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melawan Titik Jenuh Pandemi dengan Filsafat

12 Agustus 2020   12:09 Diperbarui: 12 Agustus 2020   12:20 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Sai Amanda ilham

Prodi: Aqidah Filsafat Islam

Fakultas: Ushuluddin Dan Studi Islam


Pandemi bukan masalah remeh, jika terjadi secara massal dalam masyarakat tertentu. Dampak yang ditimbulkan bisa merusak tatanan sosial yang sudah terbentuk. Kejenuhan sendiri merupakan kondisi mental seseorang yang mengalami rasa lelah yang amat sangat akibat situasi yang tidak dikehendaki. Dalam kondisi seperti ini akan muncul rasa enggan, lesu dan tidak bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas. Pada saat jenuh, sistem akal seseorang tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Individu cenderung lemot dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru.

Selain itu, kejenuhan adalah tekanan sangat mendalam yang sudah sampai pada titik tertentu. Titik jenuh itu disebut juga dengan burn-out yaitu kondisi dimana seseorang mengalami kelelahan mental, penurunan motivasi dan hilangnya komitmen karena suatu hal. Ketika masyarakat kita sedang berjuang melawan pandemi dalam waktu yang tidak diketahui kapan akan berakhir, potensi kejenuhan massal sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, perlu gerakan layanan cybercounseling secara serentak.

Agar masyarakat yang mulai mengalami kejenuhan bisa mendapat pertolongan dengan segera. Hingga saat ini, pandemi Covid-19 belum berakhir. Berbagai Negara masih berlomba-lomba untuk menemukan vaksin serta obat yang tepat dalam mengakhiri pandemi ini. Di Indonesia sudah berbulan-bulan masyarakat diminta untuk berdiam diri di rumah apabila tidak ada keperluan, menerapkan social distancing dan makan makanan yang sehat untuk memutus rantai Covid-19.

Ya Alhamdulilah, kita Masih bisa bersyukur bahwa sekarang kita tidak sakit, persediaan makanan masih ada, dan masih bisa menikmati setiap helaan napas yang mengalir dalam tubuh kita. Keluarga sekitar kita masih baik-baik saja, atau sekalipun ada yang sedang sakit, tentu masih ada peluang untuk sembuh.

Filsafat tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam mengolaborasi setiap persoalan krusial, termasuk soal pandemi Covid-9. Peran filsafat itu, meminjam ungkapan Slavoj Zizek, lebih sebagai unruhestifter pencipta kegaduhan. Peran ini sudah dihayati filsafat sejak zaman Sokrates, yakni Die Jugend zu verderben, sie zu entfremden von der vorherrschenden ideologisch-politischen Ordnung, radikalen Zweifel zu sa?en und sie dazu zu befa?higen, eigensta?ndig zu denken (Mengguncang pikiran generasi muda, menjauhkan mereka dari tatanan politik ideologi mainstream, menabur keraguan radikal, dan memampukan mereka untuk berpikir mandiri). Filsafat dapat menjalankan sekurang-kurangnya dua peran penting dalam mengatasi pendemi Covid-19. Pertama, filsafat berperan mengkritisi model pembangunan ekonomi neoliberal yang telah menciptakan bencana ekologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun