Mohon tunggu...
Amanda Putri Handayani
Amanda Putri Handayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa keperawatan UMY

Saya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta program studi Ilmu Keperawatan angkatan 2021.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Setiap Detik Berarti

15 November 2024   09:37 Diperbarui: 15 November 2024   09:41 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kejadian henti jantung merupakan salah satu kondisi kegawat-daruratan yang banyak terjadi di luar rumah sakit. Berdasarkan data dari European Society of Cardiology (ESC), HJM terjadi pada 50 dari 100.000 pasien berusia 50-60 tahun dan lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki. Di negara barat, HJM paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner (PJK), dimana terjadi pada 75-80 % kasus. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) terdapat 57,03 juta orang meninggal di seluruh dunia diantaranya karena kecelakaan dan bencana alam yang diakibatkan oleh henti napas dan henti jantung yang berjumlah sekitar 35-50 ribu (Agustini, Buntari et al, 2017;Watung, 2020). Berdasarkan data dari the American Heart Association (AHA), sedikitnya terdapat 2 juta kematian akibat henti jantung di seluruh dunia. 

Di indonesia angka kejadian Henti Jantung di indonesia tercatat di IHME (Institute for Health Metrics and Evaluation) kasus kematian akibat henti jantung sebanyak 251,09 per 100.000 orang pada 2023. Jumlah itu meningkat 1,25% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 247,99 kematian per 100.000 penduduk. Kondisi henti jantung 75- 45% terjadi di rumah dan 95% meninggal sebelum ke RS. Angka kejadian henti jantung menurut Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Profil Kesehatan DIY (2012)  sebanyak 253 kasus dengan menempati urutan keempat dari 10 penyebab kematian (Estri, 2019). Selain itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, DIY menempati urutan kedua setelah Kalimantan Utara dengan prevalensi 2 persen. Padahal, angka kejadian penyakit jantung di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan prevalensi 1,5 persen.

Henti jantung merupakan kondisi kegawatdaruratan yang terjadi ketika jantung berhenti berdetak dan tidak bekerja dengan baik. Penyebab Cardiac Arrest adalah serangan jantung atau infark miokard (aritmia jantung, khususnya fibrasi ventrikel) terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah material (plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak semakin buruk sirkulasi ke jantung dan otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung, sehingga meningkatkan aritmia dan cardiac arrest. 

Henti jantung terjadi akibat dari kehilangan darah dan oksigen di dalam otot jantung karena terhambatnya arteri koroner oleh bekuan darah atau akibat kerja jantung dalam memompa darah. Penderita saat itu akan mengalami kehilangan kasadaran, pernapasan yang terhenti dan nadi tidak teraba. Henti jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti penyakit jantung struktural, seperti penyakit koroner iskemik, gagal jantung kongestif, dan hipertrofi ventrikel kiri penyebab jantung nonstruktural, seperti pendarahan intrakranial, emboli paru, dan infeksi berat. Henti jantung yang tidak diatasi dapat berakibat fatal, seperti kerusakan otak permanen, hipoksia, dan kematian. Jika tidak segera ditangani, henti jantung dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, pingsan, kerusakan otak, kematian. Efek henti jantung adalah tidak bernapas normal, tidak sadarkan diri, berhenti bernapas.

Berdasarkan wawancara dengan klien, klien megatakan bahwa kader kesehatan mampu memberikan pertolongan pertama pada kondisi gagal jantung. Namun, mereka mengalami keterbatasan karena kurangnya pelatihan dasar terkait penanganan darurat medis. Klien mengungkapkan bahwa masyarakat berharap adanya pelatihan lebih lanjut dan penyuluhan yang dapat meningkatkan pemahaman tentang tanda-tanda penyakit jantung, agar masyarakat lebih siap menghadapi permasalahan tersebut. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Uti Rusdian Hidayat pada tahun 2022 yang mengatakan bahwa banyak masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam menangani pasien henti jantung. 

Kondisi ini tentunya akan berdampak pada tingkat keberlangsungan hidup pasien dengan henti jantung. Pemberian pelatihan BHD merupakan salah satu strategi untuk mendidik dan melatih masyarakat atau orang awam untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan pertolongan pertama pada korban henti jantung. AHA (2020) telah mengembangkan program untuk memberikan pelatihan RJP pada komunitas. Menurut pembimbing mentor 04 mengatakan bahwa kejadian henti jantung semakin lama semakin meningkat. Orang awam yang tidak mengetahui pertolongan pertama pada henti jantung akan meningkatkan angka kematian pada henti jantung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun