"Tolong!"
Aku sontak mencari sumber suara itu, memperhatikan sekeliling area sudut taman yang sepi dan temaram. Sebuah tangan lantas tampak melambai-lambai. Aku menghampiri pemilik tangan itu, seorang bocah laki-laki, mungkin berusia sekitar delapan tahun, sedang terduduk di tanah.
"Kenapa kamu?"
"Jatuh, Kak. Kaki saya sakit, Kak." Bocah itu merengek.
Aku merendahkan tubuhku hingga sejajar dengan si bocah. "Bagian mana yang sakit, biar aku... Ahhh!! Bajingan!"
Mendadak bocah beringus itu menarik handphone yang kuletakkan di saku kemeja dan dengan cepat pula mendorongku hingga aku tergeletak. Bajingan memang! Kucoba bangkit dan mengejar si bocah. Akan tetapi, mungkin memang sudah dasarnya kesialan adalah bagian dari tubuhku, aku kehilangan jejaknya begitu saja. Ia lari begitu cepat. Selanjutnya yang kulakukan hanyalah menangis sejadi-jadinya. Ya, aku menangis, sebagaimana yang harusnya dilakukan si bocah jika aku berhasil menangkapnya.
Entah berapa lama aku menangis sambil berdiri. Yang pasti hal itu cukup untuk membuat kepalaku pening dan seluruh wajahku dipenuhi oleh air mata. Saat kurasa diriku akan tumbang karena saking peningnya, seseorang menahan bahuku dan membawaku untuk duduk di kursi panjang terdekat. Ia seorang pemuda berkemeja putih yang tinggi, tampan, dan berkacamata.
"Hidup melelahkan, bukan?" ucapnya, ucapan yang akhirnya mengawali obrolan panjang kami.
Padanya aku bercerita tentang segala masalah hingga menanyakan pertanyaan gila tersebut, pertanyaan terkait bagaimana manusia bisa mengakhiri hidup tanpa kematian. Hal yang tak terduga, si pemuda tak dikenal itu mampu memberikan sebuah jawaban.
"Aku tahu satu cara."