Tindak kekerasan yang sering terjadi di lingkungan Pendidikan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa hingga saat ini menjadi tantangan terbesar untuk pemerintah dalam rangka memerangi kasus pembullyan yang ada di Indonesia. Adanya kasus kekerasan yang semakin marak ini membuat para orang tua dan peserta didik menjadi khawatir dan cemas. Tindak kekerasan yang sering terjadi ketika aturan ditegakkan selama kegiatan pembelajaran. Adapun contoh kekerasan yang marak terjadi pada satuan Pendidikan yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan simbolik dan kekerasan verbal. Seperti salah satu kasus yang terjadi pada SMK 12 Malang terjadi kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap anak muridnya. Menurut pengakuan pelaku, hal tersebut merupakan sebuah candaan yang terjadi antara ia dan korban. Seperti penjelasan yang telah di paparkan oleh Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Sarana dan Prasarana SMKN 12 Kota Malang Yusuf Hidayat, hal tersebut terjadi ketika siswa kelas XI Teknik Kendaraan Ringan (TKR) yang berinisial R terlambat masuk pada saat jam Pelajaran agama. Karena terlambat, guru agama yang berinisial K menghukumnya dengan cara berdiri di depan kelas selama beberapa saat. Menurut Yusuf, hukuman ini sudah sesuai dengan kesepakatan antara guru dan siswa. Perilaku kekerasan berupa memiting R yang dilakukan oleh pelaku diduga dipicu oleh kebohongan R saat ditanya alasan ia terlambat masuk sekolah. Pihak sekolah mengatakan bahwa hal tersebut hanyalah candaan dan tidak meninggal bekas luka fisik pada korban.
Contoh kekerasan yang dipaparkan di dalam berita yang beredar bisa kita sebut sebagai kekerasan saat kegiatan belajar mengajar. Adapun tingkatan kekerasan pada contoh kasus diatas yaitu Tingkat kekerasan ketiga yang dimana korban mendapatkan penganiayaan dari pelaku (guru). Namun, untuk kasus ini ternyata dari pengakuan pihak korban sepakat untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Dilihat dari contoh kasus diatas, korban berjenis kelamin laki-laki. Yang dimana, alasan dari kasus ini dapat diketahui oleh khalayak umum dikarenakan karena video rekaman tersebut viral. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa laki-laki cenderung enggan untuk bercerita. Sesuai dengan teori Back & Lips (1998) menemukan bahwa laki-laki dibandingkan dengan perempuan, cenderung memberi tanggung jawab yang lebih besar pada korban dalam kasus-kasus kekerasan. Perilaku 'mengadu' atau melapor pada orang yang lebih dewasa mengenai apa yang terjadi pada mereka juga sering dianggap sebagai bentuk perilaku 'tidak jangan' dan tidak pantas untuk dilakukan. Oleh sebab itu, perilaku diam atau tidak melapor dianggap lebih baik. Dengan demikian, perbedaan gender perlu mendapat perhatian dalam menginterprestasi hasil-hasil penelitian survei. Â Jadi, dapat kita simpulkan bahwa banyak sekali faktor yang dapat menimbulkan kekerasan di dalam satuan pendidikan dan tidak dapat kita pungkiri bahwa kekerasan tersebut dapat berasal dari pendidik. Ini merupakan sebuah tantangan besar untuk kita semua terutama para pendidik untuk memerangi kekerasan di dalam pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H