Apakah Anda mengetahui bagaimana orangtua memelihara ari-ari atau plasenta Anda? Dikubur atau disimpan? Kebanyakan masyarakat Jawa masih menganggap ari-ari bayi merupakan organ penting yang ada di dalam kandungan bagi bayi. Maka dari itu, ari-ari bayi masih tetapi dirawat. Masyarakat Jawa percaya bahwa bentuk syukur untuk menyambut kelahiran bayi harus menggelar upacara adat, salah satunya memelihara ari-ari bayi. Biasanya mereka mengubur ari-ari tersebut atau dihanyutkan ke laut atau sungai. Menurut mereka, dengan mengubur atau menghanyutkan ari-ari bayi merupakan cara mereka untuk merawat ari-ari tersebut. Alasan logisnya, supaya ari-ari tidak dimangsa hewan atau tidak menjadi sumber bau.
Masyarakat Jawa percaya, ketika seorang bayi lahir makan dia lahir bersama dengan saudara gaibnya yang biasa disebut sedulur papat lima pancer. Mereka ini terdiri dari marmati, kawah, ari-ari, getih, dan puser. Saat proses persalinan berlangsung, kawah (air ketuban) akan disebut sebagai kakak atau kakang (kakang kawah) karena keluarnya lebih dahulu. Sedangkan ari-ari akan disebut adi atau adik (adi ari-ari) karena keluar setelah bayi lahir. Hal ini dilakukan sebagai bentuk etika manusia dalam menghargai peran ari-ari yang telah memberikan makan sang bayi ketika masih di dalam kandungan, dan kawah (air ketuban) yang menjaga bayi supaya tetap hidup di dalam kandungan.
Memelihara ari-ari dalam tradisi Jawa sangat beragam. Sebagian masyarakat yang mengubur di sekitar rumah, ada yang menyimpannya di dalam kendi kemudian digantung pada langit-langit rumah, dan ada masyarakat yang menghanyutkan ke laut atau sungai. Setiap perlakuan pada ari-ari memiliki makna yang berbeda-beda, sesuai kepercayaan masyarakatnya. Ari-ari yang disimpan, dipercaya akan lebih dekat dengan bayi dan menemani bayi. Sementara ari-ari yang dilarung, dipercaya bahwa suatu saat si anak akan suka berpetualang.
Bagi masyarakat yang memilih mendhem ari-ari dilakukan dengan cara ditempatkan ke dalam kendhil, kemudian diberi daun talas sebagai alasnya, daun talas merupakan daun yang tidak menyerap air, hal ini merupakan simbol dan harapan agar kelak sang anak tidak hanya berpikir tentang duniawi saja. Kemudian diberi sesajen yang diletakan bersama dengan ari-ari tersebut adalah kembang boreh, minyak wangi, dan kunir yang dipakai untuk landasan. Selain itu ari-ari juga diberi garam, benang, jarum, kinang, kemiri, tulisan arab, Jawa, atau Indonesia, yang memiliki arti agar anak menguasai bahasa dengan baik. Kemudian, ari-ari yang sudah dikubur diberikan penerangan berupa bohlam dan ditutup wadah supaya tidak bongkar oleh hewan. Penerangan ini memiliki simbol doa dari orangtua untuk bayi supaya selalu diberi penerangan dalam menjalani hidup.
Referensi
Herawati, I. (2007). Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban. Jurnal Sejarah dan Budaya, 2(3), 145-151.
Widyaningrum, L., & Tantoro, S. (2017). Tradisi Adat Jawa dalam Menyambut Kelahiran Bayi (Studi Tentang Pelaksanaan Tradisi Jagongan Pada Sepasaran Bayi) di Desa Harapan Harapan Jaya Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan (Doctoral dissertation, Riau University).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H